Sumber: http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=news&pid=624
Oleh: Adi Blue
Beberapa hari lalu, di Buleleng beredar sebuah selebaran yang berisi semacam otokritik bagi orang Bali. Selebaran yang berisi nama pengirim dan nomor HP dengan jelas dan dikirim kepada sejumlah pejabat penting itu menyoroti dengan telanjang orang Bali yang bermental priyayi. Sementara peluang-peluang bisnis, termasuk tanahnya dikuasai oleh orang luar Bali. Pengirim selebaran itu mengaku prihatin. Jika etos kerja orang Bali tidak diperbaiki maka sepuluh tahun ke depan niscaya orang Bali akan menjadi tamu di daerahnya sendiri. Seorang PNS di Pemkab Buleleng berkomentar bahwa isi selebaran itu memang banyak benarnya. Selebaran itu diakui sangat mewakili keprihatinan yang dirasakan PNS itu saban hari. "Saya tak berani mengungkapkan keprihatinan saya, tetapi selebaran ini cukup mewakili perasaan saya," kata PNS itu di lobi Kantor Bupati Buleleng belum lama ini. Pertanyaannya sekarang, benarkah etos kerja orang Bali menurun? Bagaimana sebenarnya etos kerja orang Bali jika dikaitkan dengan ajaran agama Hindu?
Pemerhati sosial-agama dari IKIPN Singaraja Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, Dip.App.Ling.,M.Sc. mengungkapkan, secara normatif etos kerja orang Bali itu sebenarnya sangat tinggi. ''Coba lihat ke belakang. Sesuai ajaran agama Hindu, orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan kerja itu adalah karma. Orang Bali bekerja terus-menerus tanpa memikirkan hasil, karena kerja yang baik adalah karma yang baik,'' ujarnya.
Kata Dewa Komang Tantra, yang menjadi petani akan turun ke sawah saat matahari baru saja terbit dan pulang ke rumah ketika matahari sudah tenggelam. Kalaupun perlu istirahat, petani kita dulu istirahat sebentar. Istirahatnya pun di tengah sawah dengan membuka bekal yang dibawa dari rumah. Kalau menjadi pematung seperti Cokot dan Ida Bagus Tilem, mereka akan terus mematung tanpa pernah memikirkan hasil. "Jadi, secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas," kata dosen sejumlah fakultas di IKIP Singaraja itu.
Contoh lain, kata Dewa Tantra, adalah buruh bangunan. Orang Bali biasanya kalau bekerja jadi tukang bangunan, pekerjaan akan sangat disenangi karena hasilnya bagus. Tukang dan buruh bangunan itu memang bekerja dengan baik karena menganggap bahwa bekerja menjadi tukang itu adalah karmanya sebagai manusia. "Mereka akan bekerja dengan baik, entah siapa pemilik rumah yang dibangunnya," ujarnya.
Dulu, tak ada peluang bagi orang Bali untuk memiliki etos kerja yang buruk. Pura-pura didirikan dengan semangat yang tinggi, meskipun dulu masyarakat Bali secara ekonomi tidak sekaya sekarang. Karena keyakinan dari pemahaman agama yang cukup baik, di mana bekerja dan berkarya adalah berkarma, bukan semata-mata mencari hasil secara ekonomi. "Makanya, dulu masyarakat Bali itu sederhana, polos, tak bermental priyayi," katanya.
Kenapa dulu etos kerja orang Bali begitu tinggi? Dewa Komang Tantra menilai, dulu spiritualitas masyarakat Bali itu tinggi, sedangkan materialitasnya begitu rendah. Orang bekerja karena karma yang diyakininya sesuai ajaran agama, tanpa memperhitungkan nilai materi. Dengan keyakinan itu, orang Bali tak memilih-milih pekerjaan. Semua pekerjaan luhur. Yang jadi petani merasa karmanya memang jadi petani sehingga mereka bekerja dengan setia. Yang menjadi buruh juga begitu, menjalankan swadharmanya sebagai buruh dengan baik.
Tetapi, Dewa Komang Tantra menilai telah terjadi semacam paradoks besar-besaran. Nilai spiritualitas orang Bali rendah, sementara materialitasnya makin tinggi. Ini terjadi karena adanya pengaruh nilai-nilai modern yang lebih mementingkan status dan materi. Orang mulai memilih-milih pekerjaan. Yang sarjana tak mau lagi turun ke sawah. Pengejaran status itu kemudian memunculkan mental priyayi. Bahkan, sekarang sudah mulai ada status pekerjaan kasar dan pekerjaan halus. Kerja kasar dan kerja halus ini merupakan pengaruh dari kategori Barat, di mana di situ memang dikenal adanya pekerja kerah biru (kerja kasar) dan pekerja kerah putih (kerja orang-orang berdasi). Dengan mental priyayi yang menginginkan pekerjaan kerah putih ini menyebabkan banyak peluang kerja lain yang tidak dipedulikan lagi oleh orang Bali. Pekerjaan di sektor informal, seperti buruh bangunan, pedagang kecil pinggir jalan, petani atau buruh tani yang ditinggalkan orang Bali mulai disambar oleh orang dari luar Bali. Orang Bali hanya bisa mengeluh tak pernah mendapatkan pekerjaan karena mereka selalu memilih pekerjaan.
Padahal, kalau dilihat secara ekonomi, pekerjaan di sektor informal penghasilan bisa jauh lebih tinggi ketimbang bekerja di sektor formal. Seorang pegawai negeri sipil yang berbekal ijazah sarjana awalnya hanya mendapatkan gaji tak lebih dari Rp 500 ribu sebulan. Tetapi pedagang bakso yang berjualan secara sederhana penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp 25 ribu. Belum lagi pedagang bakso yang berjualan secara serius dalam sebuah rumah makan yang digarap dengan manajemen yang baik.
''Tetapi jarang orang Bali mau jadi pedagang bakso. Mereka tetap punya keinginan menggebu-gebu untuk menjadi pegawai negeri yang statusnya dianggap lebih priyayi,'' katanya.
Dewa Komang Tantra yang kerap menjadi konsultan di berbagai lembaga di Jakarta ini bercerita tentang temannya, orang Hindu yang mau memberikan modal kepada orang-orang Bali unuk bejualan bakso babi dan ayam secara keliling. "Namun sambutannya sangat minim," kisahnya.
Fenomena ini, menurut Tantra, memang menjadi tantangan bagi orang Bali sendiri. Di zaman globalisasi yang tanpa sekat dan pagar ini orang Bali tidak seharusnya menyalahkan orang luar Bali. "Kita sendiri yang salah sehingga harus introspeksi dan mulai melakukan perubahan," katanya.
Etos kerja seharusnya mulai ditumbuhkan dengan keyakinan yang tinggi bahwa kerja itu adalah karma. Semua pekerjaan luhur, semua pekerjaan baik. Yang jadi petani tetap bangga jadi petani, yang jadi pedagang tetap bangga jadi pedagang. Menumbuhkan etos kerja ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Misalnya bagaimana pendidikan informal di rumah mulai diperbaiki. Komang Tantra melihat sistem pendidikan keluarga di Bali belum berperan besar dalam membentuk mental dan spiritual generasi muda di Bali. Keluarga sangat berperan dalam menumbuhkan kedisiplinan orang Bali sejak dini. "Dengan kedisiplinan yang tinggi maka etos kerja generasi muda akan tetap terjaga dengan dasar nilai-nilai agama Hindu," tandasnya.
* adnyana ole.
Sumber: BaliPost
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar