Jumlah pelongok sejak 25 April 2011

Senin, 25 April 2011

Etos Kerja China Perantauan

Oleh: H Maksum Pinarto, pengurus Paguyuban Masyarakat Tionghoa Semarang
(bagian dari satu tulisan)

Sejarah juga telah mencatat bahwa masyarakat Tionghoa bukan "orang lain" di Indonesia. Jika kita simak, bukti tertulis dari temuan para pakar kebudayaan Indonesia menunjukkan, di antara Walisongo ada yang berdarah Tionghoa namun tidak merasa dirinya orang lain. Di antara para empu pembuat keris terdapat Empu Lhoning, yang dapat mengkreasi keris Nagasasra dengan ornamen naga model Tiongkok yang dikenal sebagai liong. Toh para empu Jawa (Nusantara) menerima Lhoning sebagai rekan empu sebangsa.

Upaya mewujudkan harmonisasi, khususnya terkait dengan etnis Tionghoa, tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat China. Nilai-nilai yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat luas adalah etos kerja masyarakat Tionghoa. Sejarah China (Tionghoa) perantauan lebih didasari kondisi ekonomi dalam negeri China yang carut-marut. Karena tanpa jaminan kesejahteraan, sebagian besar masyarakat Tionghoa dari berbagai suku yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah, bertekad merantau, termasuk ke Indonesia pada awal abad ke-17 dengan risiko dicap ilegal oleh Pemerintah China, karena pemerintah tidak memprogramkan migrasi warganya.

Selain "cap" negatif tersebut, ternyata di rantau, perubahan nasib tidak langsung membaik. Di Indonesia (Hindia), mereka dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai buruh dan kuli. Upah mereka sangat murah. Namun karena etos dan semangat kerja keras, mereka dapat mengambil hati majikan (pemerintah Hindia) sehingga banyak yang diangkat sebagai mandor, pengawas, dan jabatan lain, tidak sekadar buruh kasar.

Potensi dan etos kerja membuat iri golongan masyarakat lain, terutama pemerintah Hindia sendiri. Mereka takut kalau masyarakat Tionghoa suatu saat akan menjadi kekuatan ekonomi dan mengancam kekuatan ekonomi pemerintah Hindia, jika diberi keleluasaan bekerja dan berusaha. Ketakutan itu berdampak pada dikeluarkannya kebijakan yang mengekang kebebasan masyarakat Tionghoa untuk berusaha. Hanya orang-orang yang dekat dengan pemerintah Hindia yang diberi kesempatan berusaha.

Berbagai gerakan dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa untuk melepas batasan yang mengekang kekuasaan masyarakat Tionghoa. Namun, setelah ganti kekuasaan, peraturan serupa masih tetap dipertahankan. Setelah kemerdekaan RI, kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut tetap diberlakukan. Warga keturunan semakin tidak nyaman. Di tengah-tengah ketidaknyamanan tersebut, warga Tionghoa masih dapat survive. Semua karena etos dan semangat juang yang tidak mudah padam. Sikap ini yang dapat dikembangkan menjadi salah satu bentuk budaya bangsa bahwa dalam kondisi apa pun, jangan mudah menyerah dan harus tetap berjuang.

Keharmonisan dalam masyarakat plural dapat dibangun dan dikembangkan dengan beberapa persyaratan. Pertama, harus ditanamkan sikap dan kesadaran dalam masyarakat bahwa pluralitas adalah keniscayaan. Keberadaannya tidak dapat dihindarkan, apalagi dihilangkan.
Kedua, terbentuknya keharmonisan dalam masyarakat plural yang multietnis tidak terlepas dari faktor kondisi sosial politik, terutama terkait dengan kebijakan yang lintas etnis.
Ketiga, menyolidkan kekuatan yang mendukung harmonisasi sosial. Pers, kelompok sosial, LSM, dan komponen masyarakat lain harus melakukan sinergi atas upaya harmonisasi melalui fungsi masing-masing yang berbeda-beda. Beberapa upaya tersebut diharapkan dapat memberikan peran dalam mewujudkan keharmonisan sosial dalam masyarakat plural. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar