Jumlah pelongok sejak 25 April 2011

Senin, 25 April 2011

Watak Rangkap Kerja yang Terkandung dalam Barang Dagangan

Oleh: Edi Cahyono.
Dari buku Karl Marx "CAPITAL" Jilid I, Bab 1

Mula-mula barang-dagangan memberikan gambaran kepada kita sebagai dua hal yang kompleks-sebagai nilai-pakai dan nilai-tukar. Kemudian, kita juga melihat bahwa kerja memiliki dua hakikat rangkap; selama kerja itu dinyatakan dalam nilai, ia tidak memiliki watak yang sama sebagai penghasil nilai-pakai. Pertama-tama saya harus membuktikan dan menguji secara kritis hakikat rangkap kerja yang terkandung dalam barang-dagangan. Oleh karena pemahaman terhadap hal tersebut merupakan titik tolak untuk mengerti ruang lingkup ekonomi politik, maka kharus lebih jauh mengerti detilnya.

Ambil misalnya dua contoh barang-dagangan, 1 jas dan 10 ello (yard) kain lena. Bila jas nilainya dua kali lipat kain lena, maka 1 jas = 2 W, dan 10 ello kain lena = W.
Jas memiliki nilai-pakai karena dapat memuaskan kebutuhan tertentu. Keberadaannya merupakan hasil dari jenis aktivitas produktif tertentu (untuk menghasilkannya diperlukan satu aktivitas produktif tertentu), hakikatnya ditentukan oleh tujuannya, cara pelaksanaannya, bendanya, alat-alat produksinya, atau karena nyatanya hasil produksi tersebut memiliki nilai-pakai, kita namakan kerja yang berguna. Dalam hal ini, kita hanya akan menganalisanya selama ia memiliki dampak kegunaan.

Jas dan kain lena, secara kualitas, memiliki nilai-pakai yang berbeda, demikian juga dua bentuk kerja yang menghasilkannya, penjahit dan penenun. Seandainya barang-barang tersebut, secara kualitatif, tidak memiliki nilai-pakai yang berbeda, sehingga dengan demikian juga bukan merupakan hasil produksi kerja dengan kualitas yang berbeda, maka mereka tidak mungkin dapat berhadapan/berhubungan sebagai barang-dagangan. Jas tidak ditukar dengan jas juga; satu nilai-pakai tidak akan ditukar dengan nilai-pakai yang sejenis.

Di dalam berbagai macam nilai-pakai terkandung berbagai macam kerja yang berguna, yang dibedakan menurut tatanannya, golongannya, jenis keluarganya dan macamnya, semuanya disebabkan karena adanya pembagian kerja sosial. Pembagian kerja tersebut merupakan syarat yang dubutuhkan untuk menghasilkan barang-dagangan, namun sebaliknya, produksi barang-dagangan bukan merupakan syarat bagi adanya pembagian kerja. Di dalam komunitas masyarakat India kuno sudah terdapat pembagian kerja sosial, namun tak ada yang namanya produksi barang-dagangan. Contoh yang lebih dekat ada dalam pabrik, kerja telah terbagi secara sostematis, tetapi pembagian kerja tersebut tidak menyebabkan kaum buruh menukarkan hasil produksi perseorangannya. Hasil produksi dapat dikatakan barang-dagangan, yang merupakan hasil kerja yang berbeda, bila masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling tergantung.

Jadi, di dalam nilai-nilai setiap barang-dagangan tersimpan kerja yang berguna, yakni aktivitas produktif dengan tujuan tertentu. Nilai-pakai tidak dapat berhadapan satu sama lain sebagai barang-dagangan, jika kerja yang berguna, yang ada di dalamnya, tidak berbeda secara kualitatif. Suatu masyarakat dikatakan menghasilkan barang-dagangan secara luas, yakni, masyarakat penghasil barang-dagangan di mana kerjanya (yang menghasilkan nilai-pakai) berbeda secara kualitatif, hasil usaha penghasil perseorangan yang tidak tergantung atau berdiri sendiri, dan kerja yang berbeda secara kualitatif tersebut berkembang ke suatu sistem yang kompleks-suatu pembagian kerja sosial.

Kecuali itu, tidak ada bedanya jas yang dipakai oleh penjahit atau pun oleh langganannya. Dalam kedua kejadian tersebut jas berfungsi sebagai nilai-pakai. Hubungan antara jas dan kerja yang menghasilkannya tidaklah berubah menurut situasi yang ada. Pekerjaan menjahit menjadi profesi khusus, atau suatu cabang dari pembagian kerja sosial yang tidak tergantung. Kebutuhan akan pakaian memaksa manusia memproduksinya, manusia telah memproduksinya beribu-ribu tahun sebelumnya, tanpa harus menjadi penjahit. Akan tetapi jas dan kain lena bukanlah seperti elemen material lainnya-yang secara spontan dihasilkan oleh alam, mereka ada sebagai hasil dari aktivitas produksi tertentu, dengan tujuan tertentu, suatu aktivitas dalam mengolah material alam tertentu guna memenuhi kebutuhan khusus manusia. Oleh karena itu kerja sebagai penghasil nilai-pakai, kerja yang berguna, merupakan syarat, apapun bentuk masyarakatnya, bagi keberadaan ras manusia; suatu keharusan alamiah yang abadi, tanpa itu tak akan ada pertukaran bahan antara manusia dan alam, atau tak akan ada kehidupan.

Nilai-pakai jas, kain lena dan sebagainya, pendek kata barang-dagangan yang berwujud, terdiri dari kombinasi dua elemen-bahan-bahan alam dan kerja. Jika semua kerja yang berguna, yang tersimpan dalam barang-dagangan, dihilangkan maka kini tinggallah bahan dasarnya saja, yang tanpa dikerjakan oleh manusia alam telah menyediakannya. Manusia dalam produksinya dapat bertindak hanya seperti alam itu sendiri, yaitu hanya mengubah bentuk-bentuk bahan.[13] Lebih dari itu, dalam kerja merubah bentuk alam, manusia secara tetap didukung oleh tenaga alam. Dengan demikian, kerja bukanlah satu-satunya sumber kesejahteraan, atau juga bukan satu-satunya sumber nilai-pakai yang dihasilkannya. Seperti apa yang dikatakan oleh William Petty, kerja adalah ayah, dan bumi adalah ibu.

Sekarang kita beralih dari penelaahhan nilai pakai barang-dagangan ke nilai barang-dagangan.
Seperti asumsi kita sebelumnya, jas mempunyai nilai dua kali lebih besar dari kain lena. Tetapi itu hanya perbedaan kuantitatif saja, yang untuk sementara ini tidak menarik perhatian kita. Jika satu jas = dua kali 10 ello kain lena, maka 20 ello kain lena = 1 jas. Sejauh mereka memiliki nilai-pakai, jas dan kain lena memiliki substansi yang sama, yaitu ekspresi obyektif dari kerja yang pada esensinya sama. Akan tetapi pekerjaan menenun dan menjahit, secara kualitatif, merupakan kerja yang berjenis. Dalam masyarakat tertentu terdapat keadaan di mana satu orang yang sama, secara bergantian, melakukan pekerjaan menenun dan menjahit, dalam kasus ini dua bentuk kerja tersebut hanyalah merupakan modifikasi kerja dari individu yang sama, dan belum menjadi fungsi-fungsi yang tetap dan khusus dari individu-individu yang berbeda; sepenuhnya sama seperti jas dan celana yang dibuat oleh penjahit pada waktu yang berbeda, semata-mata merupakan variasi kerja yang dilakukan oleh orang yang sama. Lebih dari itu, dengan sekali lihat saja, dalam masyarakat kapitalis, sesuai dengan perbedaan dalam permintaan, porsi tertentu kerja manusia dipenuhi, pada satu saat, dalam bentuk kerja menjahit, dan dalam saat yang lain, dalam bentuk kerja menenun. Perubahan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa gesekan, tapi hal tersebut harus tetap dilakukan.

Bila kita mengabaikan bentuk khusus aktivitas produktif, dengan demikian sekaligus juga mengabaikan watak kegunaan kerja, maka yang tertinggal hanyalah pengeluaran tenaga kerja manusia.

Menjahit dan menenun, walaupun secara kualitatif merupakan aktivitas produktif dari akal, otot, urat-syaraf, tangan dan lain-lain manusia, dan dalam makna tersebut adalah kerja manusia. Keduanya hanyalah merupakan dua cara pengeluaran kerja manusia yang berbeda. Tentu saja, tenaga kerja tersebut, yang tetap sama walau ada modifikasi-modifkasi, harus mencapai tahap perkembangan tertentu sebelum dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuknya. Akan tetapi nilai barang-dagangan merupakan cerminan kerja abstraksi manusia, pengeluaran kerja manusia secara umum. Dan dalam masyarakat seorang jenderal dan bankir memainkan peranan yang besar, sedangkan di lain pihak, manusia lainnya hanya memainkan peran yang kerdil dan patut dikasihani,[14] demikian juga terhadap peran kerja manusia. Ia adalah pengeluaran kerja manusia yang sederhana, yakni, kerja rata-rata, yang tanpa perkembangan khusus pun, terdapat pada setiap organisasi badan manusia. Kerja rata-rata yang sederhana tersebut, memang betul, karakternya berubah-ubah sesuai dengan negri dan waktunya, akan tetapi dalam masyarakat tertentu ia ada. Kerja ahli hanyalah merupakan hasil peningkatan dan pelipatgandaan dari kerja sederhana, sehingga pengurangan jumlah kerja ahli sama dengan penambahan terhadap kerja sederhana. Pengalaman menunjukkan bahwa reduksi tersebut selalu terjadi. Satu barang-dagangan mungkin saja merupakan hasil kerja yang paling ahli, namun nilainya, dengan membandingkannya dengan produk kerja sederhana yang kurang keahliannya, merupakan jumlah tertentu dari kerja sederhana yang kurang keahlian tersebut.[15] Perbedaan proporsi, karena berbagai jenis kerja yang berbeda direduksi menjadi kerja sederhana, merupakan standar ukuran yang ditetapkan sebagai kebiasaan (muncul seolah-olah sudah ada dari asalnya). Demi penyederhanaan, segala jenis kerja sederhana; Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kesalahan dalam membuat reduksi.

Oleh karenanya, sebagaimana kita memandang jas dan akin lena sebagai nilai-nilai yang diabstraksi dari nilai-pakainya masing-masing (yang berbeda), demikian juga kita memandang kerja sebagai cerminan nilai-nilai tersebut: Kita tidak memperdulikan perbedaan bentuk-bentuk kegunaannya, apakah itu menjahit atau pun menenun. Sebagai nilai-pakai, jas dan kain lena, merupakan kombinasi aktivitas produktif tertentu yang menggunakan kain dan benang, sedangkan sebagai nilai, jas dan kain lena, merupakan pembekuan homogen dari kerja yang tak berbeda, oleh karena itu kerja yang terkandung di dalam nilai-nilai tersebut harus diperlakukan bukan karena manfaat produktif yang diberikan oleh kain dan benang, akan tetapi hanya sebagai pengeluaran tenaga kerja manusia. Menjahit dan menenun merupakan faktor-faktor yang harus dipenihu dalam menciptakan nilai-pakai jas dan kain lena, tepatnya karena kedua jenis kerja tersebut memiliki kualitas yang berbeda; tapi sejauh kita hanya mengabstraksi kualitas khususnya, atau sejauh kita hanya menganggap keduanya memiliki kualitas kerja manusia yang sama, maka menjahit dan menenun substansi nilainya terdiri dari bahan yang sama.

Namun jas dan kain lena, bagaimana pun juga, bukan hanya semata-mata nilai, mereka adalah nilai-nilai yang memiliki besaran tertentu, dan berdasarkan asumsi kita, 1 jas memiliki nilai dua kali 10 ello kain lena. Dari mana asal perbedaan nilai-nilai mereka? Jawabannya adalah: karena kain lena hanya mengandung setengah kerja dibanding yang terkandung dalam jas, sehingga untuk menghasilkan jas diperlukan waktu dua kali lebih banyak.
Dalam hubungan dengan nilai-pakai kerja yang terkandung dalam barang-dagangan hanya diperhitungkan secara kualitatif. Sedangkan dalam menghitung nilai kita harus memperlakukannya secara kualitatif, dengan terlebih dahulu mereduksinya sebagai kerja murni dan sederhana. Pertanyaan untuk nilai-pakai adalah: Bagaimana dan Apa? Sedangkan pertanyaan untuk nilai adalah: Bagaimana dan Berapa? Berapa banyak waktu yang digunakan? Oleh karena besaran nilai itu dihitung dari jumlah waktu yang terkandung dalam barang-dagangan, maka semua barang-dagangan, pada proporsi tertentu, pada dasarnya haruslah memiliki nilai yang sama.

Jika kekuatan produktif, yang digunakan oleh berbagai kerja-berfaedah untuk menghasilkan jas, tidak berubah, maka pertambahan nilainya sebanding dengan pertambahan jumlahnya. Bila untuk menghasilkan 1 jas diperlukan waktu x hari kerja, maka untuk menghasilkan 2 jas diperlukan 2x hari kerja, dan seterusnya. Tetapi bagaimana seandainya lamanya kerja berfaedah untuk menghasilkan jas berubah 2 kalinya atau ½nya. Untuk kasus yang pertama (berubah 2 kalinya), nilai 1 jas yang sekarang sama dengan nilai 2 jas dahulu; dalam kasus yang kedua itu jelas terlihat: walaupun 1 jas yang dihasilkan dahulu dan sekarang sama-sama memberikan jas yang sama, dan tenaga kerja yang menghasilkannya memiliki kualitas yang sama, namun jumlah kerja untuk menghasilkannya berubah-ubah.

Pertambahan dalam jumlah nilai-pakai adalah pertambahan dalam kekayaan material. Dengan dua jas, dua manusia bisa berpakaian; dengan satu jas, hanya seorang manusia yang bisa berpakaian. Namun demikian, pertambahan dalam kekayaan material bertalian dengan, pada saat yang sama, penurunan besaran nilai. Gerak yang berlawanan tersebut berakar dari watak rangkap yang dimiliki kerja. Keberadaan tenaga produktif, tentu saja, tergantung dari produktifitasnya. Dengan demikian, kerja-berfaedah akan menjadi sumber kelimpahan hasil-hasil produksi, sesuai dengan naik turunnya produktifitasnya. Di lain pihak, kerja, yang dicerminkan oleh nilai, tidaklah dipengahuri oleh perubahan dalam produktivitas. Ketika kekuatan produktif telah menjadi unsur dari bentuk konkrit kerja-berfaedah, tentu saja kekuatan produktif tersebut tidak lagi ada sangkut-pautnya dengan kerja tersebut karena kini kita telah mengabstraksi bentuk-bentuk konkrit faedahnya. Kekuatan produktif bisa saja bermacam-macam, namun kerja yang sama, yang bekerja pada jumlah waktu yang sama, selalu menghasilkan jumlah nilai yang sama. Akan tetapi tenaga kerja tersebut, pada waktu yang sama, menghasilkan jumlah nilai-pakai yang berbeda; lebih banyak, bila ada peningkatan dalam kekuatan produktif. Perubahan dalam kekuatan produktif yang akan menambah faedah bagi kerja, dan, konsekuensinya, menyebabkan pertambahan jumlah nilai-pakai yang dihasilkan oleh tenaga kerja, sekaligus juga menurunkan jumlah total nilai, perubahan kekuatan produktif dapat memperpendek waktu kerja yang dibutuhkan dalam menghasilkan barang, demikian juga sebaliknya.

Di satu pihak; semua kerja adalah, dalam arti fisiknya, pengeluaran tenaga kerja manusia, dan dalam karakter abstraknya yang sama ia menghasilkan nilai barang-dagangan. Di lain pihak, semua pengeluaran kerja manusia dalam bentuknya yang khusus dan dengan tujuan tertentu, atau dalam karakter konkrit kerja yang berfaedah, menghasilkan nilai-pakai.[16] *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar