Oleh: Briggita Isworo
(dari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/10/Fokus/2276245.htm)
Seorang pemuda asal Lampung, Sutrisno Darimin (30), pulang dari Kejuaraan Dunia Angkat Berat Miami, Florida, AS. Dia merebut gelar juara dunia sekaligus menumbangkan rekor dunia yang sebelumnya dipegang oleh Ayrat Zakiev, atlet Rusia. Hanya segelintir media massa yang memuat kisahnya secara mencolok sebagai sebuah penghargaan. Tanggal 5 Desember 2005 di Manila dilangsungkan upacara penutupan pesta olahraga kawasan Asia Tenggara, SEA Games XXIII. Indonesia mencatat ”rekor” untuk pertama kalinya berada di urutan kelima.
Ini merupakan kulminasi kegagalan Indonesia yang telah diawali tahun 1999, saat pertama kali Indonesia terlempar keluar dari posisi dua besar. Catatan sebelumnya, sejak keikutsertaannya pada tahun 1977, Indonesia hanya dua kali menjadi runner-up, pada tahun 1985 dan tahun 1995—keduanya diselenggarakan di Thailand.
Hasil di Manila mengindikasikan bahwa dunia olahraga Indonesia dalam masalah besar karena pembinaannya amburadul. Pada kenyataannya tidak banyak pihak yang peduli dengan kontingen SEA Games XXIII. Pelepasan kontingen untuk pertama kalinya dalam sejarah tidak dilakukan oleh Presiden RI—dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono—karena kesibukannya memimpin negara yang sarat krisis.
Presiden kemudian meminta Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk melakukan evaluasi, restrukturisasi, dan revitalisasi olahraga nasional. Berlawanan dengan semangat menggebu setiap provinsi untuk menjadi juara umum di Pekan Olahraga Nasional (PON)—dengan ”belanja atlet”—pembinaan olahraga nasional sangat terabaikan.
Tidak ada penghargaan memadai bagi atlet yang telah meluangkan waktu begitu lama dengan meninggalkan sekolah dan pekerjaannya, untuk mengikuti pemusatan latihan nasional (pelatnas) jangka panjang.
Di antaranya bahkan ada yang dikeluarkan dari perguruan tinggi karena meninggalkan bangku kuliah terlalu lama. Sebagian malahan ditawari untuk memilih: sekolah atau tetap menekuni olahraga. Padahal, seperti dikatakan pelatih ganda putra bulu tangkis Christian Hadinata—yang pada tahun 1970-an juga berjaya di level internasional—olahragawan tidak akan berhasil jika tak ditopang pendidikan yang memadai.
”Atlet menjadi tidak bisa memecahkan persoalan di lapangan. Tidak bisa mikir. Ini kekurangan atlet kita dibandingkan atlet luar yang biasanya berpendidikan sampai perguruan tinggi,” ujarnya menjelaskan.
Di tataran internasional para atlet mempertaruhkan masa depannya untuk membuat bendera Merah Putih berkibar, untuk mengangkat citra bangsanya di hadapan bangsa lain melalui prestasinya. Hanya dalam hitungan sekian menit saat Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan mereka bisa merasa bangga menjadi anak Indonesia. Selebihnya?
Mungkin mereka merasa malu menjadi anak negeri ini karena tingkat korupsi yang begitu tinggi—yang begitu ”terkenal”, mungkin mereka malu karena negerinya dikenal sebagai negeri yang banyak mobil mewahnya, padahal di sisi lain banyak orang kelaparan. Di sisi lain atlet yakin bahwa prestasi mereka akan sedikitnya mengurangi ”corengan” di wajah negeri tercinta.
Masih segar di ingatan ketika tahun 1998 tim Piala Thomas berhasil merebut piala lambang supremasi beregu putra bulu tangkis dunia, di tengah kemelut politik serta kerusuhan dan konflik horizontal yang memalukan.
Mereka mengungguli bangsa- bangsa lain, seperti China yang kini meraksasa terutama di bidang ekonomi, Korea Selatan yang juga dikenal sejahtera, serta beberapa negara Eropa. Tim putra bulu tangkis ketika itu menepis semua situasi buruk Indonesia dengan merebut piala.
Olahraga telah mengambil bagian dengan merebut kembali kehormatan bangsa, memberikan kebanggaan pada bangsa, dan mengangkat citra negara.
Saat itu Candra Wijaya, Hendrawan, dan rekan-rekannya menjadi korban gosip karena diberitakan akan beremigrasi ke Hongkong—tempat penyelenggaraan pertandingan—tetapi dengan heroik mereka mampu mengubah segala rasa malu dan rendah diri menjadi semangat juang untuk memberikan yang terbaik, seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat peluncuran buku Stephen R Covey.
Momentum tepat
Ketika buku Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness edisi bahasa Indonesia diluncurkan, banyak orang di negeri ini mulai sibuk mencari-cari di mana sebenarnya budaya unggul bangsa Indonesia?
Lalu bagaimanakah kita bisa mengejar ketertinggalan (di berbagai aspek kehidupan) dari bangsa lain (jika tidak punya ”modal” berupa keunggulan di bidang apa pun)? Jika kita melirik dunia olahraga, sebenarnya di sana juga ada keunggulan, ada budaya unggul.
Sejumlah putra Indonesia telah mencatat prestasi tingkat regional dan dunia, antara lain di cabang angkat besi, angkat berat, binaraga, bulu tangkis, karate, silat, biliar, panjat tebing, dan catur. Beberapa di antaranya bahkan mencatat rekor. Jangan lupa, Sarengat mencatat rekor Asia di nomor prestisius 100 meter pada event Asian Games IV 1962 di Jakarta.
Seperti bidang-bidang kehidupan lainnya, prestasi di bidang olahraga terwujud karena adanya nilai-nilai komitmen, kerja keras, disiplin, konsistensi, kepercayaan diri, dan di atas segalanya adalah kecintaan kepada bangsa (cinta kepada bangsa bukan monopoli politisi yang suka berpidato tentang menyelamatkan negara dan bangsa! buktinya...?), salah satu pendorong motivasi besar.
Dibandingkan dengan bidang- bidang kehidupan lainnya, olahraga memiliki karakter khusus, yaitu sifat kemassalannya. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dapat melakukan kegiatan olahraga sambil secara tidak langsung mempelajari nilai- nilai sportivitas, jiwa kompetitif, kerja sama, disiplin, dan kerja keras. Keuntungan lainnya, sebagai bangsa yang berolahraga, negara bisa memiliki aset berupa sumber daya manusia yang sehat jasmani dan rohaninya.
Sejarah mencatat bahwa sejumlah negara yang sekarang kita kenal sebagai negara maju memulai pembangunan bangsanya dengan tanpa meninggalkan pembangunan di bidang olahraga. Pola membangun bangsa seperti itu melampaui batas ideologi dan kemampuan ekonomi.
Strategi itu dilakukan di negara-negara Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea Selatan yang berhaluan kapitalis, dan juga Uni Soviet (sekarang negara-negara pecahannya—Red), serta China yang berhaluan komunis. Sejumlah negara komunis bahkan menjadikan olahraga salah satu bagian dari pembangunan budaya (Sport Under Communism, James Riordan).
Jepang seakan ”dilahirkan kembali” pasca-Olimpiade 1964 saat menjadi tuan rumah dan berakhir di peringkat tiga. Demikian pula halnya Korea Selatan yang semakin maju perekonomiannya setelah menjadi penyelenggara Olimpiade 1988 di Seoul dan berhasil duduk di peringkat empat dunia.
Momen sukses sebagai penyelenggara maupun peserta Olimpiade merupakan salah satu strategi untuk sebuah negara ”lepas landas”, maju dengan memacu perkembangan di berbagai bidang. Mengapa demikian?
Menjadi penyelenggara sebuah pesta akbar semacam Olimpiade dan menjadi peserta yang sukses di dalamnya hanya bisa tercapai jika negara tersebut berhasil memacu dan memunculkan keunggulannya di segala bidang secara sinergis. Tanpa itu, niscaya semua target akan luput.
Kerja besar itu merupakan ”simulasi” kemajuan sebuah bangsa. Indonesia telah melakukan kekeliruan dengan membiarkan momentum seperti itu lewat begitu saja. Pertama, yaitu di Asian Games 1962, ketika Indonesia menjadi penyelenggara dan berhasil duduk di peringkat dua di tingkat Asia, dan yang kedua saat menjadi penyelenggara SEA Games 1997 di Jakarta.
Sebelumnya, sebenarnya Indonesia telah mengadopsi pola pembangunan seperti itu pada zaman pemerintahan Soekarno, yang menempatkan olahraga pada posisi strategis sebagai alat pembangunan bangsa (nation and character building).
Dalam era tersebut Jakarta menjadi penyelenggara Asian Games IV (1962) dan Ganefo (Games for the New Emerging Forces, 1963). Momentum saat menjadi unggul itu terlewatkan karena turbulensi politik yang membuat kepemimpinan Soekarno terputus melalui Supersemar 1966 menyusul terjadinya G30S/PKI.
Pascakepemimpinan Soekarno titik berat pembangunan olahraga lebih bersifat praktis pragmatis yang ditandai dengan pengejaran prestasi yang ditandai dengan perolehan medali—lewat proses instan. Nilai-nilai yang terkandung dalam olahraga tidak lagi menjadi dasar pembangunan manusia Indonesia. Kondisi semakin memburuk pada pascareformasi, yaitu saat bangsa ini menghadapi krisis multidimensi.
Pendapat umum menyebutkan, krisis multidimensi itu disebabkan oleh hancurnya sektor ekonomi. Namun, sebenarnya jika dilihat lebih mendalam, krisis tersebut diakibatkan oleh merosotnya kualitas manusia Indonesia yang kehilangan nilai-nilai: sportivitas, kemampuan kompetisi, ketekunan, kejujuran, disiplin, dan kemampuan bekerja sama yang semuanya itu menjadi inti dari manusia olahraga.
Jadi untuk mendapatkan kembali manusia dan bangsa Indonesia yang unggul, pembangunan di bidang olahraga merupakan salah satu pilihan yang tidak bisa diabaikan. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar