Suwardi Luis.
Harian Kompas, Minggu 24 April 2011
• Judul: The Why of Work
• Penulis: Dave Ulrich & Wendy Ulrich
• Penerbit: McGraw Hill, 2010
• Tebal: xvii+286 halaman
• ISBN: 978-0-07-173935-1
”Peran para pemimpin perlu diredefinisikan; mereka tidak lagi hanya menetapkan arah dan menyediakan struktur, tetapi juga menciptakan makna dalam pekerjaan.” Dave and Wendy Ulrich, 2010
”Manusia tidak akan pernah puas” adalah jawaban yang sering diberikan oleh pemilik usaha atau manajemen ketika ditantang untuk mengukur tingkat kepuasan karyawan. Tipe pemilik dan manajemen seperti ini pulalah yang sering mengontradiksikan kesejahteraan karyawan dengan keuntungan perusahaan. Jika perusahaan ingin untung, kesejahteraan karyawan harus dikorbankan.
Buku yang ditulis Dave Ulrich dan istrinya, Wendy Ulrich, ini mencoba menata ulang persepsi tersebut. Bagi praktisi dan akademisi di dunia manajemen, nama Dave Ulrich sudah tak asing lagi. Karyanya seperti The Human Resources Champion (1996) dan The HR Value Proposition (2005) telah menjadi panduan utama bagi pelaku bisnis dalam merevitalisasi strategi pengelolaan SDM di berbagai perusahaan dunia, termasuk di Indonesia.
Mereka bermaksud meyakinkan pembaca bahwa peningkatan kepuasan karyawan melalui penciptaan makna memiliki nilai strategis dalam mendorong kepuasan pelanggan dan pertumbuhan finansial perusahaan. Suatu survei yang dikutip menunjukkan bahwa 78 persen karyawan yang puas atau engaged dengan perusahaan akan bersedia merekomendasikan produk atau jasa perusahaannya, dibandingkan dengan hanya 13 persen karyawan yang tidak puas atau disengaged. Kunci menciptakan kepuasan tidak terletak semata-mata pada pemenuhan kebutuhan fisik atau finansial yang hanya akan berdampak singkat. Kepuasan yang hakiki akan tercipta ketika karyawan memahami makna kerja.
Manfaat makna
Salah satu cerita singkat tentang pentingnya penciptaan makna terjadi pada Teeda Butt Mam, seorang korban rezim Khmer Merah (hal 239). Pada akhir tahun 1970-an, Teeda Butt Mam dan keluarganya dipaksa pindah dari Phnom Penh, untuk menggarap sawah di daerah pertanian. Pada waktu itu sekitar 1,5 juta penduduk Kamboja meninggal karena disiksa, kelaparan, atau terkena penyakit. Setelah seorang temannya diperkosa berkali-kali hingga meninggal dunia, Teeda memutuskan untuk bunuh diri. Namun, ketika pagi dia bekerja di sawah, dilihatnya pemandangan yang mengubah pikirannya.
Dalam memoarnya, Teeda menuliskan, ”Indahnya ladang sawah yang menguning dan dilatari dengan sinaran matahari berwarna emas di langit benar-benar membuat napas saya tertahan…. Keindahan alam ini menekankan bahwa ada hal-hal dalam kehidupan yang berada di luar jangkauan kekuasaan Khmer Merah… mereka bukan yang mahakuasa. Untuk pertama kalinya saya merasa bahwa hidup memiliki sesuatu yang bermakna.” Teeda memutuskan untuk bertahan hidup dan akhirnya lari dari Kamboja untuk memulai hidup baru di Amerika.
Buku ini memaparkan bahwa pemberian makna dalam bekerja akan menciptakan dua manfaat. Pertama, pencarian makna hidup merupakan bagian dari setiap manusia. Dengan menemukan makna, seseorang merasakan pemenuhan akan hidupnya, menerima kondisi apa pun atau memiliki keberanian dalam menghadapi segala situasi. Karyawan yang mengerti ’mengapa’ mengenai target yang harus dicapai, akan bertahan meski ’bagaimana’ sulitnya pencapaian target tersebut.
Kedua, penemuan makna memiliki manfaat riil bagi perusahaan. Karyawan yang memiliki makna dalam pekerjaannya akan merasa lebih puas, loyal, dan berusaha lebih giat untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Organisasi yang berhasil mencapai kedua manfaat di atas disebut organisasi yang berkelimpahan (abundant organization).
Tugas pemimpin
Organisasi yang berkelimpahan adalah tempat kerja di mana para individu memadukan aspirasi dan tindakannya untuk menciptakan makna bagi diri mereka dan nilai bagi para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Penciptaan makna dalam organisasi bukanlah semata-mata tugas manajemen puncak atau divisi sumber daya manusia (SDM), tetapi juga tugas dari setiap pemimpin. Pemberian makna bagi karyawan dapat dilakukan oleh pemimpin organisasi dengan mengaitkan pekerjaan mereka dengan kondisi realita yang dihadapi organisasi.
Ketika pemimpin pada salah satu perusahaan teknologi yang sedang mengalami krisis memberikan penjelasan kepada karyawan bahwa setiap penghematan sebesar 50.000 dollar AS dapat menyelamatkan satu posisi pekerjaan, karyawan menjadi lebih termotivasi dan kooperatif dalam pemotongan biaya karena mereka memahami ’makna’ dari penghematan itu.
Seperti seminar yang dibawakan oleh Dave Ulrich, gaya menyegarkan yang sama tertuang dalam buku ini. Alur rasional dengan pemuatan data riset disertai kasus dan cerita singkat yang menginspirasi memudahkan pembaca untuk lebih mendalami konsep pencarian makna yang biasanya terkesan berat. Di dalamnya dipaparkan tujuh pertanyaan yang harus dijawab oleh pelaku bisnis dalam menciptakan organisasi yang berkelimpahan, misalnya: kejelasan tujuan organisasi yang menjadi dasar motivasi bagi karyawan dan kejelasan kontribusi individu yang menciptakan makna kerja yang positif. Setiap pertanyaan ini dibahas dalam setiap bab yang dilengkapi dengan kerangka berpikir, formulir penilaian serta tips praktis dalam mengimplementasi jawaban atas setiap pertanyaan.
Buku ini juga layak dibaca bagi pemimpin organisasi pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Para pemimpin organisasi pemerintahan harus mampu menciptakan organisasi berkelimpahan dengan mendorong penemuan makna bagi setiap individu pegawai negeri. Bahwa mereka adalah ’pelayan publik’ yang melalui kecepatan dan ketepatan pelayanannya memiliki peran besar dalam mengentaskan warga dari kemiskinan dan mencapai negara Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
(Suwardi Luis, Chief Executive Officer PT GML Performance Consulting)
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar