Jumlah pelongok sejak 25 April 2011

Senin, 25 April 2011

Benarkah Etos Kerja Orang Bali Menurun ?

Sumber: http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=news&pid=624

Oleh: Adi Blue

Beberapa hari lalu, di Buleleng beredar sebuah selebaran yang berisi semacam otokritik bagi orang Bali. Selebaran yang berisi nama pengirim dan nomor HP dengan jelas dan dikirim kepada sejumlah pejabat penting itu menyoroti dengan telanjang orang Bali yang bermental priyayi. Sementara peluang-peluang bisnis, termasuk tanahnya dikuasai oleh orang luar Bali. Pengirim selebaran itu mengaku prihatin. Jika etos kerja orang Bali tidak diperbaiki maka sepuluh tahun ke depan niscaya orang Bali akan menjadi tamu di daerahnya sendiri. Seorang PNS di Pemkab Buleleng berkomentar bahwa isi selebaran itu memang banyak benarnya. Selebaran itu diakui sangat mewakili keprihatinan yang dirasakan PNS itu saban hari. "Saya tak berani mengungkapkan keprihatinan saya, tetapi selebaran ini cukup mewakili perasaan saya," kata PNS itu di lobi Kantor Bupati Buleleng belum lama ini. Pertanyaannya sekarang, benarkah etos kerja orang Bali menurun? Bagaimana sebenarnya etos kerja orang Bali jika dikaitkan dengan ajaran agama Hindu?

Pemerhati sosial-agama dari IKIPN Singaraja Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, Dip.App.Ling.,M.Sc. mengungkapkan, secara normatif etos kerja orang Bali itu sebenarnya sangat tinggi. ''Coba lihat ke belakang. Sesuai ajaran agama Hindu, orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan kerja itu adalah karma. Orang Bali bekerja terus-menerus tanpa memikirkan hasil, karena kerja yang baik adalah karma yang baik,'' ujarnya.

Kata Dewa Komang Tantra, yang menjadi petani akan turun ke sawah saat matahari baru saja terbit dan pulang ke rumah ketika matahari sudah tenggelam. Kalaupun perlu istirahat, petani kita dulu istirahat sebentar. Istirahatnya pun di tengah sawah dengan membuka bekal yang dibawa dari rumah. Kalau menjadi pematung seperti Cokot dan Ida Bagus Tilem, mereka akan terus mematung tanpa pernah memikirkan hasil. "Jadi, secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas," kata dosen sejumlah fakultas di IKIP Singaraja itu.

Contoh lain, kata Dewa Tantra, adalah buruh bangunan. Orang Bali biasanya kalau bekerja jadi tukang bangunan, pekerjaan akan sangat disenangi karena hasilnya bagus. Tukang dan buruh bangunan itu memang bekerja dengan baik karena menganggap bahwa bekerja menjadi tukang itu adalah karmanya sebagai manusia. "Mereka akan bekerja dengan baik, entah siapa pemilik rumah yang dibangunnya," ujarnya.

Dulu, tak ada peluang bagi orang Bali untuk memiliki etos kerja yang buruk. Pura-pura didirikan dengan semangat yang tinggi, meskipun dulu masyarakat Bali secara ekonomi tidak sekaya sekarang. Karena keyakinan dari pemahaman agama yang cukup baik, di mana bekerja dan berkarya adalah berkarma, bukan semata-mata mencari hasil secara ekonomi. "Makanya, dulu masyarakat Bali itu sederhana, polos, tak bermental priyayi," katanya.

Kenapa dulu etos kerja orang Bali begitu tinggi? Dewa Komang Tantra menilai, dulu spiritualitas masyarakat Bali itu tinggi, sedangkan materialitasnya begitu rendah. Orang bekerja karena karma yang diyakininya sesuai ajaran agama, tanpa memperhitungkan nilai materi. Dengan keyakinan itu, orang Bali tak memilih-milih pekerjaan. Semua pekerjaan luhur. Yang jadi petani merasa karmanya memang jadi petani sehingga mereka bekerja dengan setia. Yang menjadi buruh juga begitu, menjalankan swadharmanya sebagai buruh dengan baik.

Tetapi, Dewa Komang Tantra menilai telah terjadi semacam paradoks besar-besaran. Nilai spiritualitas orang Bali rendah, sementara materialitasnya makin tinggi. Ini terjadi karena adanya pengaruh nilai-nilai modern yang lebih mementingkan status dan materi. Orang mulai memilih-milih pekerjaan. Yang sarjana tak mau lagi turun ke sawah. Pengejaran status itu kemudian memunculkan mental priyayi. Bahkan, sekarang sudah mulai ada status pekerjaan kasar dan pekerjaan halus. Kerja kasar dan kerja halus ini merupakan pengaruh dari kategori Barat, di mana di situ memang dikenal adanya pekerja kerah biru (kerja kasar) dan pekerja kerah putih (kerja orang-orang berdasi). Dengan mental priyayi yang menginginkan pekerjaan kerah putih ini menyebabkan banyak peluang kerja lain yang tidak dipedulikan lagi oleh orang Bali. Pekerjaan di sektor informal, seperti buruh bangunan, pedagang kecil pinggir jalan, petani atau buruh tani yang ditinggalkan orang Bali mulai disambar oleh orang dari luar Bali. Orang Bali hanya bisa mengeluh tak pernah mendapatkan pekerjaan karena mereka selalu memilih pekerjaan.

Padahal, kalau dilihat secara ekonomi, pekerjaan di sektor informal penghasilan bisa jauh lebih tinggi ketimbang bekerja di sektor formal. Seorang pegawai negeri sipil yang berbekal ijazah sarjana awalnya hanya mendapatkan gaji tak lebih dari Rp 500 ribu sebulan. Tetapi pedagang bakso yang berjualan secara sederhana penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp 25 ribu. Belum lagi pedagang bakso yang berjualan secara serius dalam sebuah rumah makan yang digarap dengan manajemen yang baik.

''Tetapi jarang orang Bali mau jadi pedagang bakso. Mereka tetap punya keinginan menggebu-gebu untuk menjadi pegawai negeri yang statusnya dianggap lebih priyayi,'' katanya.

Dewa Komang Tantra yang kerap menjadi konsultan di berbagai lembaga di Jakarta ini bercerita tentang temannya, orang Hindu yang mau memberikan modal kepada orang-orang Bali unuk bejualan bakso babi dan ayam secara keliling. "Namun sambutannya sangat minim," kisahnya.

Fenomena ini, menurut Tantra, memang menjadi tantangan bagi orang Bali sendiri. Di zaman globalisasi yang tanpa sekat dan pagar ini orang Bali tidak seharusnya menyalahkan orang luar Bali. "Kita sendiri yang salah sehingga harus introspeksi dan mulai melakukan perubahan," katanya.

Etos kerja seharusnya mulai ditumbuhkan dengan keyakinan yang tinggi bahwa kerja itu adalah karma. Semua pekerjaan luhur, semua pekerjaan baik. Yang jadi petani tetap bangga jadi petani, yang jadi pedagang tetap bangga jadi pedagang. Menumbuhkan etos kerja ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Misalnya bagaimana pendidikan informal di rumah mulai diperbaiki. Komang Tantra melihat sistem pendidikan keluarga di Bali belum berperan besar dalam membentuk mental dan spiritual generasi muda di Bali. Keluarga sangat berperan dalam menumbuhkan kedisiplinan orang Bali sejak dini. "Dengan kedisiplinan yang tinggi maka etos kerja generasi muda akan tetap terjaga dengan dasar nilai-nilai agama Hindu," tandasnya.
* adnyana ole.
Sumber: BaliPost
****

Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/15/opi01.html

Oleh: Feisal Tamin

Tantangan yang dihadapi aparatur negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan benar.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengembangkan program yang menyangkut budaya kerja aparatur, peningkatan efisiensi, disiplin, penghematan, dan kesederhanaan hidup, yang semuanya diarahkan pada perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government).

Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku serta peradaban bangsa.
Budaya kerja aparatur negara dapat diawali dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi, atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan.

Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Untuk mengimplementasikannya diperlukan perbaikan persepsi, pola pikir, dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Proses Sosialisasi

Peningkatan kinerja aparatur baik secara individu dan secara nasional akan dapat berdaya guna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi dengan cara penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk pengembangan jati diri, sikap dan perilaku aparatur negara sebagai pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja melalui pengembangan kerja sama dan dinamika kelompok; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki kebijakan publik; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan manajemen dan pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan, evaluasi kinerja dan penegakan hukum secara konsisten.

Budaya kerja ini diharapkan tidak terhenti sebagai wacana melainkan benar-benar bisa terwujud sebagai standard operating procedure. Karena itu dua pendekatan dapat ditempuh secara strategis yaitu sosialisasi dari dalam aparatur negara sendiri dipadukan dengan sosialisasi kepada masyarakat.
Sosialisasi kepada masyarakat sangat strategis karena dapat membentuk opini publik yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap perubahan lingkungan sosial yang mampu ”memaksa” perubahan sikap dari perilaku setiap aparatur negara.

Nilai Budaya

Sistem nilai budaya merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia/ individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja aparatur negara.

Hal tersebut disebabkan karena secara praktis budaya kerja mengandung beberpa pengertian. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja.

Di dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi) baik sosial maupun lingkungan sosial.
Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya, di samping itu bekerja juga merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan.

Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja.

Secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan profesional.

Hampir 50% PNS belum produktif, efisien, dan efektif, ditinjau dari aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan pengawasan. Dari sisi kelembagaan, masih terjadi duplikasi atau overlapping; bentuk organisasi belum berbentuk piramidal, akan tetapi masih berbentuk piramida terbalik.
Dilihat dari kepegawaian juga masih terjadi pengalokasian PNS yang tidak profesional antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. PNS lebih didominasi oleh golongan II dan I (hampir 70%) dari total pegawai.

Dilihat dari ketatalaksanaan dan pelayanan publik, terjadi sistem prosedur pelayanan yang belum transparan, berbelit-belit dan terjadi praktik KKN. Oleh karena itu komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti.
Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masih banyak terjadi praktik KKN antara lain disebabkan: pertama, masih banyak peraturan perundang-undangan yang memberi peluang terjadinya praktik KKN dan perlu ditinjau kembali. Kedua, budaya minta dilayani menjadi budaya melayani masyarakat memerlukan waktu untuk diubah.
Ketiga, rendahnya tingkat disiplin masyarakat dan tingkat disiplin aparatur, dan keempat, belum berfungsinya secara baik aparat pengawas fungsional pemerintah termasuk aparat penegak hukum.

Etika Kebijakan

Dalam pengembangan budaya kerja aparatur, telah disusun pedoman pelaksanaan pengembangan budaya kerja aparatur negara beserta teknis dan mekanisme pelaksanaannya, sosialisasi penerapan nilai-nilai budaya kerja aparatur dan ditunjang dengan pelaksanaan pelatihan untuk ”mindsetting and value” di lingkungan aparatur pemerintah, perumusan RUU tentang Etika Aparatur Negara (RUU Perilaku Aparat Negara), sebagai acuan kode etik begi aparat negara dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.

Selanjutnya telah dilaksanakan pengembangan budaya kerja aparatur negara di lima daerah percontohan yaitu Jambi, Gorontalo, Pandeglang, Kabupaten Kutai Timur dan kota Pare Pare.

Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi Pemerintah” untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.
Dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan privatisasi; Pengembangan sistem dan metode kerja aparatur; Penerapan sistem merit dalam manajemen PNS; Penerapan sistem remunerasi PNS yang layak dan adil; Pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas.

Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di antaranya: Pertama, penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya tentang Etika Aparatur Negara (RUU Perilaku Aparat Negara), sebagai acuan kode etik begi aparat negara dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.
Selanjutnya telah dilaksanakan pengembangan budaya kerja aparatur negara di lima daerah percontohan yaitu Jambi, Gorontalo, Pandeglang, Kabupaten Kutai Timur dan kota Pare Pare.

Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi Pemerintah” untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.
Dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan privatisasi; Pengembangan sistem dan metode kerja aparatur; Penerapan sistem merit dalam manajemen PNS; Penerapan sistem remunerasi PNS yang layak dan adil; Pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas.

Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di antaranya:

Pertama, penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya organisasi pemerintahan yang ramping, efektif, dan efisien yang dapat mendukung peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional dan global.

Kedua, pengaturan tata laksana pemerintahan dengan sasaran terbentuknya mekanisme, prosedur, hubungan, metode, dan tata kerja aparatur negara yang tertib dan efektif.

Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan sasaran hadirnya pegawai negeri sipil yang proporsional, netral, dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan serta tindakannya.

Keempat, pemberantasan KKN dengan sasaran tampilnya aparatur negara yang bebas KKN dan kinerja instansi pemerintah yang accountable. Dan Kelima, peningkatan kualitas pelayanan publik dengan sasaran terwujudnya pelayanan publik yang sederhana, transparan, tepat, terjangkau, lengkap, wajar, serta adil.

Diharapkan dengan strategi dan langkah-langkah konkret dimaksud dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan publik terhadap performance, baik instansi maupun pejabat publik, pada gilirannya dapat mendekatkan pemerintah dengan masyarakat serta terjalin aliansi atau linkage antara institusi negara, masyarakat, dan sektor swasta.

Aliansi antara ketiga pilar tersebut (pemerintah, masyarakat, dan kalangan swasta) diperlukan untuk menghindari sikap dan perilaku aparat pemerintah terjebak dalam pola birokrasi yang kaku eksklusif dan kebebasan berkreasi.

Semangat reformasi birokrasi yang menjadi harapan masyarakat seyogyanya memotivasi setiap pengambil kebijakan pada instansi pemerintah mana pun, baik di pusat maupun di daerah agar memiliki kemauan dan keberanian secara moral dan politik, untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terwujudnya good governance yang dapat mendukung kelancaran dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah secara demokratis.

Akhirnya, komitmen untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam mewujudkan birokrasi profesional yang tekah menjadi agenda nasional, seiring dengan tuntutan demokratisasi dan globalisasi, sangat memerlukan konsistensi dan kontinuitas perjuangan baik oleh pemerintah, masyarakat, dan kalangan dunia usaha tanpa tergantung kepada siapa yang memegang kendali pemerintahan.

Karena itu sosialisasi dan impementasi tata pemerintahan yang baik perlu terus ditingkatkan sehingga resonansi dan gerakan bersih, transparan, dan profesional dapat menjadi agenda semua pihak dan perlu dicanangkan di segala bidang kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Penulis adalah Menteri Negara Pendayaguanaan Aparatur) *****

Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko

sumber: http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

Menyebut kata "Samin" di sekitaran Kabupaten Blora, Jawa Tengah, bisa dibilang sensitif. Sebagian kalangan, terutama pemerintah, masih alergi bila pembicaraan menyinggung perihal Samin. "Ah itu sebenarnya 'kan sudah tidak ada," tegas seorang pamong di Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora. Ia lantas mengingatkan agar tak mengangkat soal Samin. Kalaupun masih berminat menulis masyarakat Samin, ia wanti-wanti agar mengurus izin langsung ke bupati. Hah! Segenting itukah sehingga seorang bupati harus repot-repot ikut campur?

Faktanya, Samin memang dipandang dengan kacamata buram. Ia identik dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tak mau bayar pajak, enggan ikut ronda, suka membangkang, suka menentang. Bahkan tuduhan seram: ateis.

Di masa Orde Baru misalnya, tanggalnya ajaran saminisme oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai tahapan yang patut diupacarakan. Pernikahan massal sembilan pasang warga Desa Karangrowo, Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada 3 Januari 1997, misalnya, diupacarakan sebagai tanda ditanggalkannya ajaran saminisme yang turun-temurun dianut oleh sembilan pasangan itu (Kompas, 7 Januari 1997).

Tapi sebenarnya, ateiskah mereka? Barangkali orang tidak memperoleh gambaran jernih tentang paham saminisme, yang acap dinamakan "Agama Nabi Adam". Soal ini, menurut Darmo Subekti (63), budayawan dan mantan Kepala Humas Kabupaten Blora yang pernah duduk dalam tim penyusunan sejarah Kabupaten Blora, "Samin tidak seperti yang disangkakan orang, ateis. Mereka mengenal Sang Hyang Wenang, Tuhan."

Dalam pemikiran Darmo Subekti yang pernah diinterogasi oleh Kantor Sosial Politik Kabupaten Blora gara-gara menulis "Generasi Baru Samin" di Suara Merdeka, 19 Juli 1989, cap ateis muncul lantaran aparat kesulitan mengelompokkan masyarakat itu. Daripada susah-susah akhirnya digolongkan saja sebagai kelompok ateis. "Etnis bukan, keagamaan bukan, paling gampang ya ateis," ucap Darmo getir.

Sulit dipercaya bagaimana masyarakat kemudian cenderung lebih mempercayai gambaran negatif itu bila membicarakan soal Samin. Padahal, menurut Darmo, saminisme adalah sebuah pergerakan melawan pemerintah Belanda yang berawal ketika Belanda melakukan pematokan tanah untuk kegiatan penanaman hutan jati tahun 1870.

Guru tanpa buku

Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan, pergerakan Samin tumbuh tahun 1890 di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.

Para pemimpinnya adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca ataupun menulis. Perintisnya, Samin Surosentiko/Surosentika atau disebut singkat Samin Surontiko/Surontika (kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914), seorang buta aksara.
Pakar folklor humanistis Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.

Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.

Di masa sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal. Suripan Sadi Hutomo menuliskan, Samin Surosentiko, tanpa persetujuan dirinya, oleh para pengikutnya dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.

Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda.

Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, "Kanggo!" (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan "Wong ora bisa basa" atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan.
Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak.

Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.
Citra yang tidak sebenarnya

Gerakan ini selesai dengan sendirinya saat Belanda hengkang dan kemerdekaan RI diproklamasikan. Gerakan sudah tak mempunyai musuh. Kalaupun kemudian masyarakat masih mengendapkan citra buruk tentang Samin ini lantaran kesalahan aparat dalam mensosialisasikan inti gerakan ini.

Akibatnya, banyak hal yang dulu dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Misalnya kebiasaan membangkang, tak mau bayar pajak, atau enggan ikut ronda. Padahal, menurut Darmo Subekti, pengabaian pembayaran pajak dipakai sebagai media melawan Belanda. "Mereka waktu itu memang menentang, tetapi di zaman republik mereka lebih taat," kata Darmo.

Tetap saja, olok-olok tak bisa dihindarkan. "Orang Samin itu ya seperti itu. Ditanya berapa lembunya, jawabnya dua, jantan dan betina. Walau kenyataannya punya banyak lembu," komentar sebagian masyarakat. "Ditanya pekerjaannya apa, jawabnya laki (kawin/sanggama), karena kalau yang dimaksud pekerjaan semacam profesi, orang Samin menyebutnya penggautan atau nafkah. Misalnya, bertani," Darmo Subekti memberi ilustrasi gaya komunikasi lisan langgam Jawa ngoko yang sering menimbulkan salah tafsir.

Perbedaan penafsiran karena bahasa, belakangan melebar ke hal lain di luar komunikasi. Misalnya, perilaku yang dianggap tidak sejalan dengan orang lain. Sampai-sampai, kepada orang non-Samin yang menunjukkan perilaku buruk, orang tak segan menyebut "nyamin" alias berperilaku seperti orang Samin.

Istilah berkonotasi ledekan itu menyebabkan orang Samin asli enggan menyebut diri Samin, melainkan "orang Sikep", yakni orang yang memegang teguh ajaran yang diturunkan secara turun-temurun. Beberapa ajaran yang dicatat Suripan misalnya angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), dan angger-angger lakonana (hukum perihal yang perlu dijalankan). Hukum pertama berbunyi "Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, mbedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Hukum kedua berbunyi "Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu." Makna ungkapan simbolis itu, kita harus memelihara mulut kita dari kata-kata yang tidak senonoh atau menyakitkan hati orang lain. Sedangkan hukum ketiga berbunyi "Lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni". Maksudnya, orang Samin harus ingat pada kesabaran, "bagaikan orang mati dalam hidup".

Bisa dipahami, orang Sikep, seperti dikatakan Pramugi Prawirowijoyo (41), generasi ke-4 Samin yang tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Blora, sudah merasa menjadi bagian dari warganegara Indonesia sejak kemerdekaan RI. Tidak ada perbedaan dengan warga negara lain. "Mulai detik kemerdekaan itu, apa yang jadi kewajiban masyarakat dipenuhi. Bayar pajak nomor satu, kerja bakti berangkat duluan," jelasnya.

Lebih jauh peraih Kalpataru pengabdi lingkungan tahun 1997 itu mengungkapkan, dalam soal tata pemerintahan, masyarakat Samin mengikuti dan taat pada aturan yang ada. Misalnya tata cara perkawinan secara resmi mengikuti aturan nasional. Cuma dalam adat Sikep dikenal istilah nyuwita. Seorang pria yang akan meminang wanita Sikep akan bekerja dan mengabdi selama beberapa waktu pada keluarga calon mempelai putri. Nyuwita terutama dilakukan bila kedua calon mempelai belum cukup umur. Tetapi bila sudah cukup umur, keduanya bisa langsung menikah.

Selain tata cara perkawinan, berbagai ajaran Sikep masih terus dijalankan. Misalnya memulai hari dengan semacam ritus menghadap ke timur sebagai kawitan, dan mengakhiri hari sebagai wekasan menghadap ke barat. Di antara keduanya adalah masa terang atau rina yang mewajibkan orang Sikep bekerja keras sesuai bidangnya. Contoh lain, seperti umumnya orang Jawa tradisional, pada hari kelahiran (weton) membuat bancakan atau hidangan selamatan sekadarnya.

Tidak antisekolah

Di Desa Sambongrejo, sekitar 8 km dari Cepu, masyarakat keturunan Samin hidup selayaknya warga biasa. Mereka bercocok tanam cabai, jagung, kacang, dsb. Di desa ini terdapat sebuah bangunan SD yang didirikan tahun 1960-an.
Keberadaan SD ini juga menandakan orang-orang Sikep tidak antisekolah. memang, ketika Belanda masih bercokol mereka menolak istitusi sekolah. Sekolah dianggap menciptakan bendoro (kaum elitis) dan bukan lagi rakyat (kawulo). "Soalnya, kalau sudah sekolah akan menjadi antek Belanda," jelas Karmidi Karsodihardjo (78), ayah Pramugi yang dikenal sebagai sesepuh Sikep.

Ketika Belanda pergi, ajaran lisan mereka masih tetap diturunkan. "Ana tulis tanpa papan, ana papan sakjeroning tulis," jelas Pramugi menggambarkan ajaran itu ditularkan lewat ucapan disertai contoh keseharian.

Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Sikep adalah kesederhanaan. Bahkan Arpan, penilik kebudayaan Kecamatan Sambongrejo yang wilayahnya membawahi Desa Sambong menuturkan, dalam manajemen keluarga, orang-orang Samin lebih teliti dibandingkan dengan non-Samin. Mereka tidak membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. "Sehingga secara rata-rata mereka kaya. Lembunya saja bisa sampai 10, cukup banyak untuk ukuran rakyat biasa," katanya.

Apa yang diungkapkan Arpan sejalan dengan pandangan Darmo Subekti bahwa kejujuran dan kerja keras merupakan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin. Walaupun kalau dirunut ke belakang, sulit diketahui bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu lantas mengalami metamorfosa menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini. Kadang dipegang dan diterapkan secara kaku, terlalu idealistis, bagai tak berkompromi dengan pandangan masa kini. Faktor itu yang masih sering disalahartikan oleh orang-orang yang tidak senang.
Misalnya soal anggapan bahwa tamu tidak akan diberi hidangan lagi kalau pernah menolaknya. Padahal menurut Pramugi, pandangan itu lebih didasari rasa tidak senang kepada orang Sikep ketimbang penilaian objektif. "Kalau tamunya tidak suka kopi atau membahayakan badannya ya masa dikasih kopi?" katanya.

Bagi orang Sikep, tamu atau dalam bahasa mereka disebut sedulur (saudara), mempunyai arti penting. Dari mana pun datangnya dianggap saudara. Darmo Subekti punya pengalaman mengesankan. Suatu hari mobil yang ia tumpangi bersama empat orang lainnya mogok di tepi hutan. Atas jasa baik orang Sikep, mobil itu didorong dan mesinnya berhasil hidup. Kemudian orang Sikep mengajak mampir ke rumahnya. Di situ Darmo dan teman-temannya dijamu makan lengkap dengan lauk ayam, sayur lodeh, dan air. Ketika ia mau memberikan tips berupa uang, orang-orang Sikep itu menolak.
Yang juga mengagetkan Darmo barangkali adalah kerelaan untuk memberikan apa yang mereka miliki pada sesama orang yang membutuhkan. Padahal, dilihat dari sisi orang Sikep, pemberian itu bukan berarti menghilangkan segala-galanya. Sebab mereka menggunakan istilah meminjamkan, bukan memberikan. Bagi yang akan meminjam mengatakan tak nggone sik (saya pakai duluan).

Zaman telah berubah, penjajah telah pergi, tapi setumpuk nilai luhur masih dijalani oleh sebagian orang Sikep. Waktu yang akan menguji, apakah akan jadi pegangan selamanya, atau terkikis pelan-pelan hingga tinggal slogan yang tidak sesuai kenyataan. (G. Sujayanto/Mayong S. Laksono) *****

Selamat Datang di PT Spirit MAHARDIKA

Sumber: http://www.institutmahardika.com/welcome.htm

Dalam kamus Webster, etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi sekelompok orang atau sebuah institusi (guiding beliefs of a group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin kerja yang diyakini oleh sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.

Pandangan cerdas E.F. Schumacher dalam bukunya Small Is Beautiful lebih mempertajam peranan etos kerja ini. Schumacher berkata bahwa pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dari manusia: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumberdaya tetap terpendam tak dapat dimanfaatkan. Schumacher menegaskan sumberdaya material atau uang bersifat sekunder. Yang primer ialah sumberdaya manusia.

Tesis ini sebenarnya mula-mula dikemukakan oleh Max Weber dalam analisanya tentang kemajuan bangsa Jerman secara umum dimana etos Calvinisme di tingkat ekonomi ternyata berhasil menjadi basis bagi pengembangan kapital bangsa itu. Di Asia, etos Samurai juga telah dikenali sebagai basis kemajuan ekonomi bangsa Jepang yang spektakuler usai perang dunia kedua.

Jansen Sinamo dalam bukunya Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital (2002) menata tiga elemen tesis Schumacher menjadi etos kerja, pengetahuan, dan ketrampilan organisasional. Senafas dengan Schumacher, Sinamo menegaskan bahwa etos kerja adalah elemen sukses paling primer. Ibarat pohon, etos kerja adalah akarnya, pengetahuan adalah batangnya, ketrampilan organisasional adalah daun dan rantingnya, sedangkan uang dan barang-barang material adalah buahnya.

Namun, meskipun etos kerja merupakan komponen paling primer, ternyata ia tidak selalu membawa sukses signifikan apabila pengetahuan dan ketrampilan organisasional tidak berkembang proporsional. Hal ini dikemukan Mohammad Sobary dalam bukunya Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi (1996). Sobary menyimpulkan bahwa etos kerja yang baik tanpa diimbangi dengan pengetahuan ekonomi (misalnya apa produk yang disukai pasar, apa hambatan usaha yang ada, siapa pesaing-pesaing yang ada) dan ketrampilan organo-manajerial (misalnya bagaimana membentuk lembaga-lembaga ekonomi, memobilisasi modal, menjalankan perusahaan secara efisien ) yang memadai maka sukses komersial yang mungkin dicapai akan sangat terbatas.

Secara khusus, berangkat dari ketiga tesis pendahulunya, Jansen Sinamo menyimpulkan bahwa etos kerja adalah basis keberhasilan di tiga tingkat: personal, organisasional dan sosial. Dalam bukunya, Sinamo membuktikan bahwa pengembangan etos kerja profesional di perusahaan akan memperkuat karakter sang manusia pekerja, mempertinggi kompetensi profesional mereka, dan menghasilkan kinerja-kinerja unggul sebagai buahnya. Dalam bahasa ringkas Jansen Sinamo memproklamirkan bahwa kekuatan sebuah organisasi termasuk suatu bangsa ditentukan oleh etos kerja warganya.

Jansen Sinamo WorkEthos Training Center adalah sebuah institusi swasta independen yang bergerak dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia bagi organisasi. Jansen Sinamo WorkEthos Training Center secara khusus memfokuskan diri pada pengembangan etos kerja profesional, kepemimpinan etis, inovasi sistematik, dan keunggulan insani.

Jansen Sinamo WorkEthos Training Center percaya bahwa organisasi yang sukses adalah organisasi yang bertindak sebagai agen pembawa rahmat bagi masyarakat dan kemanusiaan secara luas. Dalam idiom bisnis konsep ini diterjemahkan sebagai wealth creation atau profit making yang memenuhi syarat-syarat good corporate governance maupun corporate excellence. Organisasi demikian ditandai dengan kukuhnya sejumlah infrastruktur organisasi unggul, yakni: visi bisnis yang jauh membentang, misi organisasi yang kuat mengikat, strategi usaha yang padu serasi, nilai-nilai dasar yang koheren holistik, falsasah usaha yang ideal harmonis, perilaku kerja yang konsisten positif, berwatak ramah budaya dan serasi lingkungan serta orientasi kerja pada keunggulan insani berdasarkan the spirit of success yang kemudian tampil sebagai sehimpunan etos kerja profesional.

Sebagai pusat pembentukan dan pengembangan etos kerja profesional Jansen Sinamo WorkEthos Training Center adalah perintis pertama dan pionir dalam studi dan pengembangan etos kerja di Indonesia. Dalam konsep yang dikembangkan oleh Jansen Sinamo digagas pentingnya delapan paradigma kerja profesional, yaitu: kerja adalah rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan.

Di tingkat perilaku kerja kedelapan paradigma ini akan membuahkan delapan perilaku kerja utama yang sanggup menjadi basis keberhasilan baik di tingkat pribadi, organisasional maupun sosial, yaitu: bekerja tulus, bekerja tuntas, bekerja benar, bekerja keras, bekerja serius, bekerja kreatif, bekerja unggul, dan bekerja sempurna.

Dalam bentuknya yang formal seperti disajikan dalam buku Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital Global (2002) Jansen Sinamo mempresentasikannya dalam bentuk yang elegan sebagai berikut:

1. Kerja adalah Rahmat: Kita Harus Bekerja Tulus Penuh Syukur
2. Kerja adalah Amanah: Kita Harus Bekerja Benar Penuh Integritas
3. Kerja adalah Panggilan: Kita Harus Bekerja Tuntas Penuh Tanggungjawab
4. Kerja adalah Aktualisasi: Kita Harus Bekerja Keras Penuh Semangat
5. Kerja adalah Ibadah: Kita Harus Bekerja Serius Penuh Pengabdian
6. Kerja adalah Seni: Kita Harus Bekerja Kreatif Penuh Sukacita
7. Kerja adalah Kehormatan: Kita Harus Bekerja Unggul Penuh Ketekunan
8. Kerja adalah Pelayanan: Kita Harus Bekerja Sempurna Penuh Kerendahan Hati

Sebagai grup yang telah berkecimpung dalam dunia pengembangan SDM dan bisnis Jansen Sinamo WorkEthos Training Center mempunyai misi yang kalau diringkas dalam satu kalimat adalah "Memperindah dunia kerja dengan etos kerja profesional" Sementara visi yang diembannya adalah "Menjadi narasumber paling kredibel di bidang etos kerja profesional". *****

Agama dan Etos

Dari: http://www.institutmahardika.com/biodata/jhs-ti06.php

Jansen Sinamo menilai bahwa bangsa Indonesia yang merupakan bangsa beragama sebenarnya memiliki potensi etos yang baik. Agama memberi orientasi dan makna hidup. Agama memberikan nilai-nilai pegangan dan tuntunan dalam hidup sehingga menjadi standar-standar perilaku, tidak hanyut dalam keputusasaan, dan kejahatan. Sejarah peradaban telah menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menjadi pegangan masyarakat sekarang seperti toleransi, saling menghargai, saling mencintai dan tenggang rasa di tiap kebudayaan, di tiap negara, di tiap benua, di tiap masyarakat adalah nilai-nilai yang sebenarnya terbentuk oleh karena pengaruh agama secara dominan.

Lalu mengapa bangsa Indonesia malah terjebak menjadi bangsa yang gemar korupsi, pelanggaran HAM, dan sebagainya? Menjawab pertanyaan ini, Jansen berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh adanya pemisahan antara kehidupan sosial dan kehidupan agama.

Beragama dianggap urusan pribadi dengan Tuhan. Bagi orang Kristen misalnya, urusan dengan Tuhan dianggap hanya pada hari Minggu sedangkan hari Senin sampai Sabtu seakan-akan boleh melakukan hal-hal yang tidak baik. Pemisahan antara yang sakral dengan sekular terjadi begitu saja tanpa disadari. Misalkan saja, ada polisi yang menilang dan meminta ’uang damai’ padahal besok dia harus beribadah. Sesudah ibadah, dia kembali lagi melakukan ‘pekerjaannya’. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kesalehan pribadi tidak diteruskan menjadi kesalehan sosial, kesalehan kerja. Menurut Jansen, etos kerja adalah juga merupakan kesalehan kerja. Seharusnya, ibadah yang dilakukan akan menguatkannya di dunia kerja.

Dengan adanya konsistensi dan sinkronisasi antara kehidupan sosial dan agama, keberhasilan di tingkat pribadi, organisasi bahkan tingkat berbangsa dan bernegara bisa diraih dengan gemilang. Indonesia tidak akan dipandang lagi sebagai bangsa munafik, tetapi akan dikenal sebagai bangsa yang maju, tempat bagi negara-negara yang membutuhkan minta bantuan, tempat diadakannya event-event internasional. Indonesia menjadi berkah bagi bangsa-bangsa lain. Tetapi tanpa perubahan etos niscaya cita-cita itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. *****

ETIKA KERJA DALAM ISLAM

Dari: http://daawah.com/islam/buku/etika.doc

PENDAHULUAN

Di dalam Perlembagaan Negara ini – Bahagian 1, perkara 3 (I) – tercatat:
“Ugama Islam ialah Ugama persekutuan; tetapi ugama-ugama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana bahagian persekutuan”.

Oleh kerana agama adalah suatu ciri penting bagi negara ini maka sewajarnyalah kita berusaha menerapkan nilai-nilai Islam kepada tatacara perkhidmatan awam negara, ini selaras dengan peruntukan perlembagaan seperti yang tertera di atas. Sebagai permulaan, hendaklah disedari bahawa Islam menuntut setiap manusia bekerja, berusaha mencari rezeki bagi menyara dirinya, keluarganya dan juga bagi ibubapanya yang telah tua. Di samping itu Islam juga menyatakan bahawa sesuatu “KERJA” yang halal ialah tugas yang diamanahkan oleh Allah kepada seseorang insan. Maka apabila seseorang itu menjalankan tugasnya ataupun bekerja, dengan sendirinya bererti, bahawa insan tersebut sedang menunaikan amanah Allah. Dengan kata-kata lain hamba Allah itu beribadat. Maka menurut Islam setiap kerja yang diredhai oleh Allah dan disertai dengan niat adalah ibadat. Oleh demikian setiap insan hendaklah menyedari dan menghayati bahawa setiap kegiatannya menjalankan kerja yang halal adalah wajib baginya dan kegiatannya itu sekiranya dimulai dengan niat, hendaklah dianggap sebagai ibadat. Bahkan Nabi Muhammad S.A.W. ada bersabda yang bermaksud:
“Barangsiapa bekerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah.”
(Riwayat Al- Bukhari)

Selain dari itu Rasulullah S.A.W. juga ada bersabda yang bermaksud:
“Mencari kerja yang halal itu adalah fardhu selepas fardhu”.
(Riwayat Al- Baihaqi)

Di samping itu kita hendaklah juga mengetahui bahawa setiap tugas atau kerja yang diberi oleh Allah kepada seseorang itu adalah menurut kemampuan orang yang berkenaan seperti yang ternyata di dalam firman Allah yang bermaksud:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang terdaya olehnya”.
(Al-Baqarah : 286)

Ayat ini menegaskan bahawa tidak ada sebab bagi seseorang pekerja itu mengeluh dan mengatakan bahawa tugasnya terlalu berat dan sukar. Dengan sendirinya ayat itu jua menekankan bahawa seseorang pekerja itu boleh menyelesaikan segala tugas jawatannya melainkan pekerja itu sendiri tidak mahu menunaikan tanggungjawabnya.
Selain dari itu setiap manusia hendaklah insaf bahawa menurut ajaran Islam setiap kegiatan kita di dunia ini akan diperhitungkan di akhirat nanti sebagaimana ternyata di dalam firman Allah yang bermaksud:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab terhadap apa yang telah diperbuatnya”.
(Al-Muddaththir : 38)

Ini bererti iaitu sekira kita tidak menunaikan kerja kita dengan sewajarnya, seperti kita mencuri masa dengan membuat kerja peribadi di dalam waktu pejabat, melengah-lengahkan bayaran kepada pemborong, meluluskan permohonan yang sepatutnya ditolak dan seumpamanya maka semestinyalah kita akan dihukum di akhirat kelak walaupun kita mungkin terlepas daripada tindakan tatatertib atau pun hukuman di dunia ini. Sebaliknya berbahagialah kita di dunia dan di akhirat sekiranya kita melaksanakan tugas kita dengan sewajarnya menurut tuntutan Islam.

Daripada semua yang diutarakan di atas ini jelaslah bahawa menurut ajaran Islam, setiap manusia wajib mempunyai kerja. Islam benci kepada pengemis dan penganggur. Di samping itu seseorang pekerja mestilah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya kerana Allah telah menegaskan bahawa setiap pekerja itu berupaya dan mampu untuk menunaikan tanggungjawabnya. Samada seseorang pekerja itu dapat menunaikan tugasnya dengan baik atau tidak hanyalah bergantung kepada sikap pekerja itu sendiri. Seterusnya setiap kegiatan pekerja itu akan menerima ganjaran yang sewajarnya di akhirat nanti. Berasaskan semuanya ini maka etika kerja dalam Islam adalah seperti:

1. Bekerja Dengan Azam Mengabdikan Diri Kepada Allah
2. Bekerja Dengan ikhlas Dan Amanah
3. Bekerja Dengan Tekun Dan Cekap
4. Bekerja Dengan Semangat Gotong-Royong Dan Berpadu Fikiran
5. Bekerja Dengan Matlamat Kebahagiaan Manusia Sejagat

ETIKA KERJA PERTAMA: Bekerja Dengan Azam Mengabdikan Diri Kepada Allah

Dengan menyedari dan menghayati bahawa manusia adalah hamba Allah, maka sewajarnyalah setiap manusia mengabdikan dirinya kepada Allah, dengan mengikuti segala suruhan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya selaras dengan firman Allah S.W.T. yang bermaksud:
“Wahai sekalian manusia! Sembahlah Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang terdahulu daripada kamu supaya kamu bertaqwa”.
(Al-Baqarah : 21)

Selanjutnya, dikemukakan satu lagi firman Allah yang maksudnya adalah seperti berikut:
“Wahai orang-orang yang berilmu, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan kepada orang yang berkuasa dari kalangan kamu.” (An-Nisaa’ : 59)
Ayat ini pula menyuruh kita taat bukan sahaja kepada Allah tetapi juga kepada Rasulullah S.A.W. dan kerajaan kerana kerajaan itulah yang dimaksudkan dengan ‘‘orang yang berkuasa dari kalangan kamu’’. Bagi mentaati Allah dan Rasulullah S.A.W. maka setiap manusia hendaklah mempunyai kerja yang halal. Bagi mentaati kerajaan pula setiap pekerja awam hendaklah menjalankan tugasnya dengan sepenuh kesedaran bahawa jawatannya itu adalah amanah Allah kepadanya. Sekiranya ia tidak menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya maka bererti pekerja tersebut telah pecah amanah kepada Allah. Sanggupkah kita yang mengakui bahawa kita ini hamba Allah, melakukan pecah amanah kepada Allah ?

Seterusnya seseorang pekerja hendaklah menyedari dan menghayati bahawa bekerja mencari nafkah yang dimulai dengan niat itu adalah ibadat. Bahkan Rasulullah S.A.W. telah bersabda yang bermaksud: "Orang yang mencari penghidupan itu adalah kawan Tuhan". (Riwayat Al-Bukhari) Dengan memahami maksud hadis ini dan menyedari bahawa bekerja itu bererti beribadat maka sewajarnyalah bagi setiap pekerja berusaha menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

ETIKA KERJA KEDUA: Bekerja Dengan ikhlas Dan Amanah

Bekerja dengan ikhlas bererti bekerja dengan sepenuh kerelaan dan dengan suci hati untuk mencari keredhaan Allah. Setiap pekerja harus menyedari bahawa jawatan yang di pegangnya adalah hasil permohonannya sendiri dan buakanlah ia dipaksa memenuhi jawatan tersebut. Maka dengan sendirinya wajarlah seseorang pekerja itu menjalankan tugasnya dengan sepenuh kerelaan apalagi dengan kesedaran bahawa kerja yang dilaksanakan olehnya itu adalah suatu amal saleh dalam usahanya mengabdikan diri kepada Penciptanya di samping berusaha untuk menyara dirinya dan keluarganya yang dikasihi dan berkhidmat kepada masyarakat.

Seterusnya setiap insan mestilah bersyukur kepada Allah kerana rahmat-Nya kepada kita yang tidak terhitung banyak-nya dan satu daripadanya ialah yang kita sandangi ini. Kesyukuran kita seharusnya memuncak lagi sekiranya kita menginsafi bahawa banyak lagi manusia lain yang masih menganggur dan tidak dapat menyara keluarganya dengan sewajarnya. Kita juga hendaklah bersyukur kerana dengan jawatan atau kerja kita ini, kita dapat mengikut serta menyumbangkan tenaga di dalam usaha membangunkan negara kita yang tercinta. Moga-moga tercapailah cita-cita suci kita untuk membangunkan suatu negara yang direhdai Allah seperti firman-Nya:
“Negara yang makmur serta mendapat keampunan Tuhan” (Saba’: 15)

Sekiranya kita dapat menghayati dan mensyukuri segala rahmat Allah itu, insya Allah kita akan dapat menunaikan tugas kita dengan ikhlas. Rasulullah S.A.W. telah bersabda yang bermaksud : ‘Sebaik-baik manusia ialah orang yang paling banyak bermanfaat bagi sesama manusia’. (Riwayat Al-Quda’)

Di dalam pendahuluan rencana ini, telah dinyatakan bahawa sesuatu kerja atau jawatan itu adalah amanah Allah kepada kita. Maka dengan kesedaran bahawa kita ini adalah hamba Allah yang dijadikan-Nya, sewajarnyalah kita menunaikan amanah tersebut sedaya upaya kerana Allah telah berfirman dan maksudnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. (An-Nisaa’ : 58)

Selain dari itu kita semua menyedari bahawa sesuatu kerja atau jawatan adalah hasil daripada perjanjian yang disetujui bersama di antara pekerja dengan majikan. Pekerja berjanji akan menunaikan tugasnya dan majikan pula berjanji akan membayar gaji yang tertentu setiap bulan. Oleh demikian sewajarnyalah kedua-dua pihak iaitu pekerja dan majikan memenuhi perjanjian tersebut. Sekiranya seseorang pekerja itu tidak menunaikan tugasnya dengan sewajarnya tetapi sanggup menerima gajinya dengan sepenuhnya maka pekerja tersebut bolehlah dianggap sebagai seorang yang menipu dan telah memecahkan janjinya. Dengan sendirinya pekerja itu telah mengingkari perintah Allah kerana Allah telah berfirman dengan maksudnya : “Wahai orang yang beriman, sempurnakanlah janjimu”. (Al-Maidah : 1)

Hadith Rasulullah S.A.W. juga menegaskan dengan maksud: “Sesiapa menipu, bukanlah ia dari golongan kami”. (Riwayat Muslim) Pepatah melayu pula mengatakan : “Kerbau dipegang pada talinya, manusia dipegang pada janjinya”. Pepatah ini membayangkan bahawa manusia yang menipu itu adalah lebih hina daripada kerbau. Dengan hujah-hujah yang dikemukakan itu sanggupkah lagi kita mengabaikan kerja atau tugas masing-masing? Sanggupkah kita mengkhianati amanah Allah, Allah yang telah mengurniakan kita dengan akal dan fikiran?Tepuklah dada tanyalah selera.

ETIKA KERJA KETIGA: Bekerja Dengan Tekun Dan Cekap

Ketekunan adalah suatu sifat yang amat diperlukan oleh seseorang pekerja. Setiap pekerja akan dapat meningkatkan kecekapan masing-masing menjalankan tugas sekiranya mereka tekun, insya Allah. Rasulullah S.A.W. bersabda dengan maksud:
“Sesungguhnya Allah suka apabila seseorang itu melakukan sesuatu pekerjaan dengan tekun”. (Riwayat Al-Baihaqi) Pepatah Melayu pula mengatakan : “Belakang parang pun kalaulah diasah, nescaya menjadi tajam”.

Pepatah ini menunjukkan bahawa dengan ketekunan, sesuatu kerja yang susah itu akan dapat diatasi insya Allah dan dengan sendirinya meningkatkan kecekapan seseorang pekerja itu.

Apabila kita hendak menilai seseorang pekerja, ciri yang terpenting ialah kecekapannya. Mutu kecekapan seseorang itu akan terus meningkat jika pekerja itu sanggup belajar atau menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya terus menerus. Ajaran Islam ada menegaskan: “Tuntutan ilmu daripada buaian hingga ke liang lahad”.

Di dalam bidang sains dan teknologi khususnya, menuntut ilmu sepanjang hayat menjadi suatu perkara yang penting sekiranya kita tidak mahu ketinggalan zaman, kerana terlalu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kedua-dua bidang itu.
Selain dari itu hadith Rasulullah S.A.W. menyatakan, berkaitan dengan pekerja dengan maksud seperti berikut: “Apabila sesuatu urusan (pekerjaan) diberikan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran.”

Hadith ini jelas menunjukkan akan peri pentingnya keahlian ataupun kecekapan seseorang pekerja menurut pandangan Islam. Sekiranya kecekapan seseorang pekerja itu meningkat maka dengan sendirinya hasil kerjanya juga turut meningkat.

ETIKA KERJA KEEMPAT: Bekerja Dengan Semangat Gotong-Royong Dan Berpadu Fikiran

Di dalam perkhidmatan awam bahkan di dalam sebarang perkhidmatan, seseorang pekerja itu bertugas dengan suatu kumpulan pekerja yang tertentu. Dengan sendirinya untuk menghasilkan perkhidmatan yang cemerlang sesuatu kumpulan pekerja itu mestilah bekerjasama, bergotong-royong melaksanakan tugas masing-masing. Sikap bantu membantu di antara satu sama lain di antara pekerja, akan menimbulkan suasana bekerja yang aman dan gembira. Suasana yang demikian pula akan meningkatkan hasil dan mutu perkhidmatan setiap pekerja. Firman Allah juga menegaskan dengan maksud:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan… (Al-Ma’idah : 2)

Semangat bergotong-royong adalah suatu ciri kebudayaan negara ini yang semestinya dipupuk terus dan disuburkan semula. Bagai kata pepatah kita : “Bukit sama didaki, lurah sama dituruni”. Di samping kita bergotong-royong menjalankan tugas, kita juga hendaklah menggalakkan perbincangan sesama sendiri, bertukar fikiran, untuk mengkaji masalah yang ada dan juga untuk menghadapi masalah yang mungkin timbul. Perbincangan seperti ini akan meningkatkan rasa kekitaan di antara pekerja dan dengan sendirinya pula meningkatkan rasa tanggungjawab bersama terhadap sebarang kegiatan kumpulan pekerja yang berkenaan. Rasa keenakan berpadu tenaga dan berpadu fikiran ini telah dinikmati oleh datuk nenek kita dahulu dan rasa indah itu telah diabadikan oleh mereka dengan pepatah: “Bulat air kerana pembentung, bulat manusia kerana muafakat”.
“Hati gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah”.

Cara berpadu fikiran ini jualah yang sekarang selalu dibincangkan dengan nama barunya itu “kumpulan kawalan mutu’, (quality control circle). Allah juga memerintahkan manusia menyelesaikan sekalian masalah mereka dengan perbincangan atau bermesyuarat seperti firman-Nya: “Dan urusan mereka dijalankan secara bermesyuarat sesama mereka”. (Asy-Syuraa : 38)

ETIKA KERJA KELIMA: Bekerja Dengan Matlamat Kebahagiaan Manusia Sejagat

Islam adalah agama untuk manusia sejagat. Dengan itu ajaran Islam (berpunca daripada Al-Quran dan hadis) juga adalah untuk manusia seluruhnya. Maka etika kerja kelima ini adalah wajar, kerana maju mundurnya pembangunan negara Malaysia ini akan memberi kesan jua kepada negara lain di dunia. Namun demikian patut dikemukakan di sini firman Allah yang bermaksud : ‘Tidak ada paksaan dalam agama (Islam)’. (Al-Baqarah : 256)

Juga firman Allah S.W.T. yang bermaksud: "Wahai orang yang beriman, hendaklah kamu sentiasa menjadi orang yang menegakkan keadilan kerana Allah, lagi menerangkan kebenaran; dan jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan". (Al-Maidah : 8)

Ayat yang pertama di atas ini menjelaskan bahawa walaupun Islam itu ialah agama untuk semua manusia tetapi orang yang tidak menganuti Islam tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam. Ayat yang kedua pula melarang kita daripada berlaku tidak adil terhadap sesuatu kaum walaupun kita benci kepada kaum tersebut. Kedua-dua ayat tersebut memberi pengertian bahawa setiap pekerja hendaklah memberi layanan dan khidmat yang sama kepada semua orang tanpa mengira kaum ataupun agama orang yang berkaitan, menurut ajaran Islam. Di samping itu, sewajarnya kita berusaha menurut ajaran hadith yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang tiada menyukar-nyukarkan pekerjaan dan yang jernih mukannya dalam menghadapi manusia." (Riwayat Al-Baihaqi)

KESIMPULAN

Sebagai sebuah negara yang mengakui di dalam perlembagaan bahawa Islam itu ialah agama rasminya, Malaysia sudah semestinya terus menerus meningkatkan usaha menerapkan nilai-nilai Islam di dalam setiap bidang kegiatan kerajaan. Namun demikian oleh kerana segala kegiatan kerajaan itu melibatkan manusia maka sewajarnya setiap pekerja (termasuk pekerja Badan-Badan Berkanun) diberi bimbingan khusus dari semasa ke semasa untuk melengkapkan mereka sebagai pekerja yang akan melaksanakan tugasnya selaras dengan ajaran Islam. Dari pihak pekerja sendiri, mereka hendaklah sentiasa sedar dan berusaha untuk menunaikan tugas mereka menurut ajaran Islam, ajaran yang mementingkan kebahagiaan umat manusia sejagat. Wajarlah bagi setiap pekerja menghayati firman Allah S.W.T. yang bermaksud: “Dan bahawa sesungguhnya inilah jalan-Ku (agama Islam) yang lurus, maka hendaklah kamu menurutnya; dan janganlah kamu menurut jalan-jalan (yang lain dari pada Islam), kerana jalan-jalan (yang lain itu) mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah’. (Al-An’am : 153)

******

Watak Rangkap Kerja yang Terkandung dalam Barang Dagangan

Oleh: Edi Cahyono.
Dari buku Karl Marx "CAPITAL" Jilid I, Bab 1

Mula-mula barang-dagangan memberikan gambaran kepada kita sebagai dua hal yang kompleks-sebagai nilai-pakai dan nilai-tukar. Kemudian, kita juga melihat bahwa kerja memiliki dua hakikat rangkap; selama kerja itu dinyatakan dalam nilai, ia tidak memiliki watak yang sama sebagai penghasil nilai-pakai. Pertama-tama saya harus membuktikan dan menguji secara kritis hakikat rangkap kerja yang terkandung dalam barang-dagangan. Oleh karena pemahaman terhadap hal tersebut merupakan titik tolak untuk mengerti ruang lingkup ekonomi politik, maka kharus lebih jauh mengerti detilnya.

Ambil misalnya dua contoh barang-dagangan, 1 jas dan 10 ello (yard) kain lena. Bila jas nilainya dua kali lipat kain lena, maka 1 jas = 2 W, dan 10 ello kain lena = W.
Jas memiliki nilai-pakai karena dapat memuaskan kebutuhan tertentu. Keberadaannya merupakan hasil dari jenis aktivitas produktif tertentu (untuk menghasilkannya diperlukan satu aktivitas produktif tertentu), hakikatnya ditentukan oleh tujuannya, cara pelaksanaannya, bendanya, alat-alat produksinya, atau karena nyatanya hasil produksi tersebut memiliki nilai-pakai, kita namakan kerja yang berguna. Dalam hal ini, kita hanya akan menganalisanya selama ia memiliki dampak kegunaan.

Jas dan kain lena, secara kualitas, memiliki nilai-pakai yang berbeda, demikian juga dua bentuk kerja yang menghasilkannya, penjahit dan penenun. Seandainya barang-barang tersebut, secara kualitatif, tidak memiliki nilai-pakai yang berbeda, sehingga dengan demikian juga bukan merupakan hasil produksi kerja dengan kualitas yang berbeda, maka mereka tidak mungkin dapat berhadapan/berhubungan sebagai barang-dagangan. Jas tidak ditukar dengan jas juga; satu nilai-pakai tidak akan ditukar dengan nilai-pakai yang sejenis.

Di dalam berbagai macam nilai-pakai terkandung berbagai macam kerja yang berguna, yang dibedakan menurut tatanannya, golongannya, jenis keluarganya dan macamnya, semuanya disebabkan karena adanya pembagian kerja sosial. Pembagian kerja tersebut merupakan syarat yang dubutuhkan untuk menghasilkan barang-dagangan, namun sebaliknya, produksi barang-dagangan bukan merupakan syarat bagi adanya pembagian kerja. Di dalam komunitas masyarakat India kuno sudah terdapat pembagian kerja sosial, namun tak ada yang namanya produksi barang-dagangan. Contoh yang lebih dekat ada dalam pabrik, kerja telah terbagi secara sostematis, tetapi pembagian kerja tersebut tidak menyebabkan kaum buruh menukarkan hasil produksi perseorangannya. Hasil produksi dapat dikatakan barang-dagangan, yang merupakan hasil kerja yang berbeda, bila masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling tergantung.

Jadi, di dalam nilai-nilai setiap barang-dagangan tersimpan kerja yang berguna, yakni aktivitas produktif dengan tujuan tertentu. Nilai-pakai tidak dapat berhadapan satu sama lain sebagai barang-dagangan, jika kerja yang berguna, yang ada di dalamnya, tidak berbeda secara kualitatif. Suatu masyarakat dikatakan menghasilkan barang-dagangan secara luas, yakni, masyarakat penghasil barang-dagangan di mana kerjanya (yang menghasilkan nilai-pakai) berbeda secara kualitatif, hasil usaha penghasil perseorangan yang tidak tergantung atau berdiri sendiri, dan kerja yang berbeda secara kualitatif tersebut berkembang ke suatu sistem yang kompleks-suatu pembagian kerja sosial.

Kecuali itu, tidak ada bedanya jas yang dipakai oleh penjahit atau pun oleh langganannya. Dalam kedua kejadian tersebut jas berfungsi sebagai nilai-pakai. Hubungan antara jas dan kerja yang menghasilkannya tidaklah berubah menurut situasi yang ada. Pekerjaan menjahit menjadi profesi khusus, atau suatu cabang dari pembagian kerja sosial yang tidak tergantung. Kebutuhan akan pakaian memaksa manusia memproduksinya, manusia telah memproduksinya beribu-ribu tahun sebelumnya, tanpa harus menjadi penjahit. Akan tetapi jas dan kain lena bukanlah seperti elemen material lainnya-yang secara spontan dihasilkan oleh alam, mereka ada sebagai hasil dari aktivitas produksi tertentu, dengan tujuan tertentu, suatu aktivitas dalam mengolah material alam tertentu guna memenuhi kebutuhan khusus manusia. Oleh karena itu kerja sebagai penghasil nilai-pakai, kerja yang berguna, merupakan syarat, apapun bentuk masyarakatnya, bagi keberadaan ras manusia; suatu keharusan alamiah yang abadi, tanpa itu tak akan ada pertukaran bahan antara manusia dan alam, atau tak akan ada kehidupan.

Nilai-pakai jas, kain lena dan sebagainya, pendek kata barang-dagangan yang berwujud, terdiri dari kombinasi dua elemen-bahan-bahan alam dan kerja. Jika semua kerja yang berguna, yang tersimpan dalam barang-dagangan, dihilangkan maka kini tinggallah bahan dasarnya saja, yang tanpa dikerjakan oleh manusia alam telah menyediakannya. Manusia dalam produksinya dapat bertindak hanya seperti alam itu sendiri, yaitu hanya mengubah bentuk-bentuk bahan.[13] Lebih dari itu, dalam kerja merubah bentuk alam, manusia secara tetap didukung oleh tenaga alam. Dengan demikian, kerja bukanlah satu-satunya sumber kesejahteraan, atau juga bukan satu-satunya sumber nilai-pakai yang dihasilkannya. Seperti apa yang dikatakan oleh William Petty, kerja adalah ayah, dan bumi adalah ibu.

Sekarang kita beralih dari penelaahhan nilai pakai barang-dagangan ke nilai barang-dagangan.
Seperti asumsi kita sebelumnya, jas mempunyai nilai dua kali lebih besar dari kain lena. Tetapi itu hanya perbedaan kuantitatif saja, yang untuk sementara ini tidak menarik perhatian kita. Jika satu jas = dua kali 10 ello kain lena, maka 20 ello kain lena = 1 jas. Sejauh mereka memiliki nilai-pakai, jas dan kain lena memiliki substansi yang sama, yaitu ekspresi obyektif dari kerja yang pada esensinya sama. Akan tetapi pekerjaan menenun dan menjahit, secara kualitatif, merupakan kerja yang berjenis. Dalam masyarakat tertentu terdapat keadaan di mana satu orang yang sama, secara bergantian, melakukan pekerjaan menenun dan menjahit, dalam kasus ini dua bentuk kerja tersebut hanyalah merupakan modifikasi kerja dari individu yang sama, dan belum menjadi fungsi-fungsi yang tetap dan khusus dari individu-individu yang berbeda; sepenuhnya sama seperti jas dan celana yang dibuat oleh penjahit pada waktu yang berbeda, semata-mata merupakan variasi kerja yang dilakukan oleh orang yang sama. Lebih dari itu, dengan sekali lihat saja, dalam masyarakat kapitalis, sesuai dengan perbedaan dalam permintaan, porsi tertentu kerja manusia dipenuhi, pada satu saat, dalam bentuk kerja menjahit, dan dalam saat yang lain, dalam bentuk kerja menenun. Perubahan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa gesekan, tapi hal tersebut harus tetap dilakukan.

Bila kita mengabaikan bentuk khusus aktivitas produktif, dengan demikian sekaligus juga mengabaikan watak kegunaan kerja, maka yang tertinggal hanyalah pengeluaran tenaga kerja manusia.

Menjahit dan menenun, walaupun secara kualitatif merupakan aktivitas produktif dari akal, otot, urat-syaraf, tangan dan lain-lain manusia, dan dalam makna tersebut adalah kerja manusia. Keduanya hanyalah merupakan dua cara pengeluaran kerja manusia yang berbeda. Tentu saja, tenaga kerja tersebut, yang tetap sama walau ada modifikasi-modifkasi, harus mencapai tahap perkembangan tertentu sebelum dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuknya. Akan tetapi nilai barang-dagangan merupakan cerminan kerja abstraksi manusia, pengeluaran kerja manusia secara umum. Dan dalam masyarakat seorang jenderal dan bankir memainkan peranan yang besar, sedangkan di lain pihak, manusia lainnya hanya memainkan peran yang kerdil dan patut dikasihani,[14] demikian juga terhadap peran kerja manusia. Ia adalah pengeluaran kerja manusia yang sederhana, yakni, kerja rata-rata, yang tanpa perkembangan khusus pun, terdapat pada setiap organisasi badan manusia. Kerja rata-rata yang sederhana tersebut, memang betul, karakternya berubah-ubah sesuai dengan negri dan waktunya, akan tetapi dalam masyarakat tertentu ia ada. Kerja ahli hanyalah merupakan hasil peningkatan dan pelipatgandaan dari kerja sederhana, sehingga pengurangan jumlah kerja ahli sama dengan penambahan terhadap kerja sederhana. Pengalaman menunjukkan bahwa reduksi tersebut selalu terjadi. Satu barang-dagangan mungkin saja merupakan hasil kerja yang paling ahli, namun nilainya, dengan membandingkannya dengan produk kerja sederhana yang kurang keahliannya, merupakan jumlah tertentu dari kerja sederhana yang kurang keahlian tersebut.[15] Perbedaan proporsi, karena berbagai jenis kerja yang berbeda direduksi menjadi kerja sederhana, merupakan standar ukuran yang ditetapkan sebagai kebiasaan (muncul seolah-olah sudah ada dari asalnya). Demi penyederhanaan, segala jenis kerja sederhana; Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kesalahan dalam membuat reduksi.

Oleh karenanya, sebagaimana kita memandang jas dan akin lena sebagai nilai-nilai yang diabstraksi dari nilai-pakainya masing-masing (yang berbeda), demikian juga kita memandang kerja sebagai cerminan nilai-nilai tersebut: Kita tidak memperdulikan perbedaan bentuk-bentuk kegunaannya, apakah itu menjahit atau pun menenun. Sebagai nilai-pakai, jas dan kain lena, merupakan kombinasi aktivitas produktif tertentu yang menggunakan kain dan benang, sedangkan sebagai nilai, jas dan kain lena, merupakan pembekuan homogen dari kerja yang tak berbeda, oleh karena itu kerja yang terkandung di dalam nilai-nilai tersebut harus diperlakukan bukan karena manfaat produktif yang diberikan oleh kain dan benang, akan tetapi hanya sebagai pengeluaran tenaga kerja manusia. Menjahit dan menenun merupakan faktor-faktor yang harus dipenihu dalam menciptakan nilai-pakai jas dan kain lena, tepatnya karena kedua jenis kerja tersebut memiliki kualitas yang berbeda; tapi sejauh kita hanya mengabstraksi kualitas khususnya, atau sejauh kita hanya menganggap keduanya memiliki kualitas kerja manusia yang sama, maka menjahit dan menenun substansi nilainya terdiri dari bahan yang sama.

Namun jas dan kain lena, bagaimana pun juga, bukan hanya semata-mata nilai, mereka adalah nilai-nilai yang memiliki besaran tertentu, dan berdasarkan asumsi kita, 1 jas memiliki nilai dua kali 10 ello kain lena. Dari mana asal perbedaan nilai-nilai mereka? Jawabannya adalah: karena kain lena hanya mengandung setengah kerja dibanding yang terkandung dalam jas, sehingga untuk menghasilkan jas diperlukan waktu dua kali lebih banyak.
Dalam hubungan dengan nilai-pakai kerja yang terkandung dalam barang-dagangan hanya diperhitungkan secara kualitatif. Sedangkan dalam menghitung nilai kita harus memperlakukannya secara kualitatif, dengan terlebih dahulu mereduksinya sebagai kerja murni dan sederhana. Pertanyaan untuk nilai-pakai adalah: Bagaimana dan Apa? Sedangkan pertanyaan untuk nilai adalah: Bagaimana dan Berapa? Berapa banyak waktu yang digunakan? Oleh karena besaran nilai itu dihitung dari jumlah waktu yang terkandung dalam barang-dagangan, maka semua barang-dagangan, pada proporsi tertentu, pada dasarnya haruslah memiliki nilai yang sama.

Jika kekuatan produktif, yang digunakan oleh berbagai kerja-berfaedah untuk menghasilkan jas, tidak berubah, maka pertambahan nilainya sebanding dengan pertambahan jumlahnya. Bila untuk menghasilkan 1 jas diperlukan waktu x hari kerja, maka untuk menghasilkan 2 jas diperlukan 2x hari kerja, dan seterusnya. Tetapi bagaimana seandainya lamanya kerja berfaedah untuk menghasilkan jas berubah 2 kalinya atau ½nya. Untuk kasus yang pertama (berubah 2 kalinya), nilai 1 jas yang sekarang sama dengan nilai 2 jas dahulu; dalam kasus yang kedua itu jelas terlihat: walaupun 1 jas yang dihasilkan dahulu dan sekarang sama-sama memberikan jas yang sama, dan tenaga kerja yang menghasilkannya memiliki kualitas yang sama, namun jumlah kerja untuk menghasilkannya berubah-ubah.

Pertambahan dalam jumlah nilai-pakai adalah pertambahan dalam kekayaan material. Dengan dua jas, dua manusia bisa berpakaian; dengan satu jas, hanya seorang manusia yang bisa berpakaian. Namun demikian, pertambahan dalam kekayaan material bertalian dengan, pada saat yang sama, penurunan besaran nilai. Gerak yang berlawanan tersebut berakar dari watak rangkap yang dimiliki kerja. Keberadaan tenaga produktif, tentu saja, tergantung dari produktifitasnya. Dengan demikian, kerja-berfaedah akan menjadi sumber kelimpahan hasil-hasil produksi, sesuai dengan naik turunnya produktifitasnya. Di lain pihak, kerja, yang dicerminkan oleh nilai, tidaklah dipengahuri oleh perubahan dalam produktivitas. Ketika kekuatan produktif telah menjadi unsur dari bentuk konkrit kerja-berfaedah, tentu saja kekuatan produktif tersebut tidak lagi ada sangkut-pautnya dengan kerja tersebut karena kini kita telah mengabstraksi bentuk-bentuk konkrit faedahnya. Kekuatan produktif bisa saja bermacam-macam, namun kerja yang sama, yang bekerja pada jumlah waktu yang sama, selalu menghasilkan jumlah nilai yang sama. Akan tetapi tenaga kerja tersebut, pada waktu yang sama, menghasilkan jumlah nilai-pakai yang berbeda; lebih banyak, bila ada peningkatan dalam kekuatan produktif. Perubahan dalam kekuatan produktif yang akan menambah faedah bagi kerja, dan, konsekuensinya, menyebabkan pertambahan jumlah nilai-pakai yang dihasilkan oleh tenaga kerja, sekaligus juga menurunkan jumlah total nilai, perubahan kekuatan produktif dapat memperpendek waktu kerja yang dibutuhkan dalam menghasilkan barang, demikian juga sebaliknya.

Di satu pihak; semua kerja adalah, dalam arti fisiknya, pengeluaran tenaga kerja manusia, dan dalam karakter abstraknya yang sama ia menghasilkan nilai barang-dagangan. Di lain pihak, semua pengeluaran kerja manusia dalam bentuknya yang khusus dan dengan tujuan tertentu, atau dalam karakter konkrit kerja yang berfaedah, menghasilkan nilai-pakai.[16] *****

Etos Kerja China Perantauan

Oleh: H Maksum Pinarto, pengurus Paguyuban Masyarakat Tionghoa Semarang
(bagian dari satu tulisan)

Sejarah juga telah mencatat bahwa masyarakat Tionghoa bukan "orang lain" di Indonesia. Jika kita simak, bukti tertulis dari temuan para pakar kebudayaan Indonesia menunjukkan, di antara Walisongo ada yang berdarah Tionghoa namun tidak merasa dirinya orang lain. Di antara para empu pembuat keris terdapat Empu Lhoning, yang dapat mengkreasi keris Nagasasra dengan ornamen naga model Tiongkok yang dikenal sebagai liong. Toh para empu Jawa (Nusantara) menerima Lhoning sebagai rekan empu sebangsa.

Upaya mewujudkan harmonisasi, khususnya terkait dengan etnis Tionghoa, tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat China. Nilai-nilai yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat luas adalah etos kerja masyarakat Tionghoa. Sejarah China (Tionghoa) perantauan lebih didasari kondisi ekonomi dalam negeri China yang carut-marut. Karena tanpa jaminan kesejahteraan, sebagian besar masyarakat Tionghoa dari berbagai suku yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah, bertekad merantau, termasuk ke Indonesia pada awal abad ke-17 dengan risiko dicap ilegal oleh Pemerintah China, karena pemerintah tidak memprogramkan migrasi warganya.

Selain "cap" negatif tersebut, ternyata di rantau, perubahan nasib tidak langsung membaik. Di Indonesia (Hindia), mereka dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai buruh dan kuli. Upah mereka sangat murah. Namun karena etos dan semangat kerja keras, mereka dapat mengambil hati majikan (pemerintah Hindia) sehingga banyak yang diangkat sebagai mandor, pengawas, dan jabatan lain, tidak sekadar buruh kasar.

Potensi dan etos kerja membuat iri golongan masyarakat lain, terutama pemerintah Hindia sendiri. Mereka takut kalau masyarakat Tionghoa suatu saat akan menjadi kekuatan ekonomi dan mengancam kekuatan ekonomi pemerintah Hindia, jika diberi keleluasaan bekerja dan berusaha. Ketakutan itu berdampak pada dikeluarkannya kebijakan yang mengekang kebebasan masyarakat Tionghoa untuk berusaha. Hanya orang-orang yang dekat dengan pemerintah Hindia yang diberi kesempatan berusaha.

Berbagai gerakan dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa untuk melepas batasan yang mengekang kekuasaan masyarakat Tionghoa. Namun, setelah ganti kekuasaan, peraturan serupa masih tetap dipertahankan. Setelah kemerdekaan RI, kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut tetap diberlakukan. Warga keturunan semakin tidak nyaman. Di tengah-tengah ketidaknyamanan tersebut, warga Tionghoa masih dapat survive. Semua karena etos dan semangat juang yang tidak mudah padam. Sikap ini yang dapat dikembangkan menjadi salah satu bentuk budaya bangsa bahwa dalam kondisi apa pun, jangan mudah menyerah dan harus tetap berjuang.

Keharmonisan dalam masyarakat plural dapat dibangun dan dikembangkan dengan beberapa persyaratan. Pertama, harus ditanamkan sikap dan kesadaran dalam masyarakat bahwa pluralitas adalah keniscayaan. Keberadaannya tidak dapat dihindarkan, apalagi dihilangkan.
Kedua, terbentuknya keharmonisan dalam masyarakat plural yang multietnis tidak terlepas dari faktor kondisi sosial politik, terutama terkait dengan kebijakan yang lintas etnis.
Ketiga, menyolidkan kekuatan yang mendukung harmonisasi sosial. Pers, kelompok sosial, LSM, dan komponen masyarakat lain harus melakukan sinergi atas upaya harmonisasi melalui fungsi masing-masing yang berbeda-beda. Beberapa upaya tersebut diharapkan dapat memberikan peran dalam mewujudkan keharmonisan sosial dalam masyarakat plural. *****

Olahraga dan Budaya Unggul

Oleh: Briggita Isworo
(dari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/10/Fokus/2276245.htm)

Seorang pemuda asal Lampung, Sutrisno Darimin (30), pulang dari Kejuaraan Dunia Angkat Berat Miami, Florida, AS. Dia merebut gelar juara dunia sekaligus menumbangkan rekor dunia yang sebelumnya dipegang oleh Ayrat Zakiev, atlet Rusia. Hanya segelintir media massa yang memuat kisahnya secara mencolok sebagai sebuah penghargaan. Tanggal 5 Desember 2005 di Manila dilangsungkan upacara penutupan pesta olahraga kawasan Asia Tenggara, SEA Games XXIII. Indonesia mencatat ”rekor” untuk pertama kalinya berada di urutan kelima.

Ini merupakan kulminasi kegagalan Indonesia yang telah diawali tahun 1999, saat pertama kali Indonesia terlempar keluar dari posisi dua besar. Catatan sebelumnya, sejak keikutsertaannya pada tahun 1977, Indonesia hanya dua kali menjadi runner-up, pada tahun 1985 dan tahun 1995—keduanya diselenggarakan di Thailand.

Hasil di Manila mengindikasikan bahwa dunia olahraga Indonesia dalam masalah besar karena pembinaannya amburadul. Pada kenyataannya tidak banyak pihak yang peduli dengan kontingen SEA Games XXIII. Pelepasan kontingen untuk pertama kalinya dalam sejarah tidak dilakukan oleh Presiden RI—dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono—karena kesibukannya memimpin negara yang sarat krisis.

Presiden kemudian meminta Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk melakukan evaluasi, restrukturisasi, dan revitalisasi olahraga nasional. Berlawanan dengan semangat menggebu setiap provinsi untuk menjadi juara umum di Pekan Olahraga Nasional (PON)—dengan ”belanja atlet”—pembinaan olahraga nasional sangat terabaikan.
Tidak ada penghargaan memadai bagi atlet yang telah meluangkan waktu begitu lama dengan meninggalkan sekolah dan pekerjaannya, untuk mengikuti pemusatan latihan nasional (pelatnas) jangka panjang.

Di antaranya bahkan ada yang dikeluarkan dari perguruan tinggi karena meninggalkan bangku kuliah terlalu lama. Sebagian malahan ditawari untuk memilih: sekolah atau tetap menekuni olahraga. Padahal, seperti dikatakan pelatih ganda putra bulu tangkis Christian Hadinata—yang pada tahun 1970-an juga berjaya di level internasional—olahragawan tidak akan berhasil jika tak ditopang pendidikan yang memadai.

”Atlet menjadi tidak bisa memecahkan persoalan di lapangan. Tidak bisa mikir. Ini kekurangan atlet kita dibandingkan atlet luar yang biasanya berpendidikan sampai perguruan tinggi,” ujarnya menjelaskan.

Di tataran internasional para atlet mempertaruhkan masa depannya untuk membuat bendera Merah Putih berkibar, untuk mengangkat citra bangsanya di hadapan bangsa lain melalui prestasinya. Hanya dalam hitungan sekian menit saat Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan mereka bisa merasa bangga menjadi anak Indonesia. Selebihnya?
Mungkin mereka merasa malu menjadi anak negeri ini karena tingkat korupsi yang begitu tinggi—yang begitu ”terkenal”, mungkin mereka malu karena negerinya dikenal sebagai negeri yang banyak mobil mewahnya, padahal di sisi lain banyak orang kelaparan. Di sisi lain atlet yakin bahwa prestasi mereka akan sedikitnya mengurangi ”corengan” di wajah negeri tercinta.
Masih segar di ingatan ketika tahun 1998 tim Piala Thomas berhasil merebut piala lambang supremasi beregu putra bulu tangkis dunia, di tengah kemelut politik serta kerusuhan dan konflik horizontal yang memalukan.

Mereka mengungguli bangsa- bangsa lain, seperti China yang kini meraksasa terutama di bidang ekonomi, Korea Selatan yang juga dikenal sejahtera, serta beberapa negara Eropa. Tim putra bulu tangkis ketika itu menepis semua situasi buruk Indonesia dengan merebut piala.
Olahraga telah mengambil bagian dengan merebut kembali kehormatan bangsa, memberikan kebanggaan pada bangsa, dan mengangkat citra negara.

Saat itu Candra Wijaya, Hendrawan, dan rekan-rekannya menjadi korban gosip karena diberitakan akan beremigrasi ke Hongkong—tempat penyelenggaraan pertandingan—tetapi dengan heroik mereka mampu mengubah segala rasa malu dan rendah diri menjadi semangat juang untuk memberikan yang terbaik, seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat peluncuran buku Stephen R Covey.

Momentum tepat

Ketika buku Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness edisi bahasa Indonesia diluncurkan, banyak orang di negeri ini mulai sibuk mencari-cari di mana sebenarnya budaya unggul bangsa Indonesia?

Lalu bagaimanakah kita bisa mengejar ketertinggalan (di berbagai aspek kehidupan) dari bangsa lain (jika tidak punya ”modal” berupa keunggulan di bidang apa pun)? Jika kita melirik dunia olahraga, sebenarnya di sana juga ada keunggulan, ada budaya unggul.
Sejumlah putra Indonesia telah mencatat prestasi tingkat regional dan dunia, antara lain di cabang angkat besi, angkat berat, binaraga, bulu tangkis, karate, silat, biliar, panjat tebing, dan catur. Beberapa di antaranya bahkan mencatat rekor. Jangan lupa, Sarengat mencatat rekor Asia di nomor prestisius 100 meter pada event Asian Games IV 1962 di Jakarta.
Seperti bidang-bidang kehidupan lainnya, prestasi di bidang olahraga terwujud karena adanya nilai-nilai komitmen, kerja keras, disiplin, konsistensi, kepercayaan diri, dan di atas segalanya adalah kecintaan kepada bangsa (cinta kepada bangsa bukan monopoli politisi yang suka berpidato tentang menyelamatkan negara dan bangsa! buktinya...?), salah satu pendorong motivasi besar.

Dibandingkan dengan bidang- bidang kehidupan lainnya, olahraga memiliki karakter khusus, yaitu sifat kemassalannya. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dapat melakukan kegiatan olahraga sambil secara tidak langsung mempelajari nilai- nilai sportivitas, jiwa kompetitif, kerja sama, disiplin, dan kerja keras. Keuntungan lainnya, sebagai bangsa yang berolahraga, negara bisa memiliki aset berupa sumber daya manusia yang sehat jasmani dan rohaninya.

Sejarah mencatat bahwa sejumlah negara yang sekarang kita kenal sebagai negara maju memulai pembangunan bangsanya dengan tanpa meninggalkan pembangunan di bidang olahraga. Pola membangun bangsa seperti itu melampaui batas ideologi dan kemampuan ekonomi.

Strategi itu dilakukan di negara-negara Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea Selatan yang berhaluan kapitalis, dan juga Uni Soviet (sekarang negara-negara pecahannya—Red), serta China yang berhaluan komunis. Sejumlah negara komunis bahkan menjadikan olahraga salah satu bagian dari pembangunan budaya (Sport Under Communism, James Riordan).
Jepang seakan ”dilahirkan kembali” pasca-Olimpiade 1964 saat menjadi tuan rumah dan berakhir di peringkat tiga. Demikian pula halnya Korea Selatan yang semakin maju perekonomiannya setelah menjadi penyelenggara Olimpiade 1988 di Seoul dan berhasil duduk di peringkat empat dunia.

Momen sukses sebagai penyelenggara maupun peserta Olimpiade merupakan salah satu strategi untuk sebuah negara ”lepas landas”, maju dengan memacu perkembangan di berbagai bidang. Mengapa demikian?
Menjadi penyelenggara sebuah pesta akbar semacam Olimpiade dan menjadi peserta yang sukses di dalamnya hanya bisa tercapai jika negara tersebut berhasil memacu dan memunculkan keunggulannya di segala bidang secara sinergis. Tanpa itu, niscaya semua target akan luput.

Kerja besar itu merupakan ”simulasi” kemajuan sebuah bangsa. Indonesia telah melakukan kekeliruan dengan membiarkan momentum seperti itu lewat begitu saja. Pertama, yaitu di Asian Games 1962, ketika Indonesia menjadi penyelenggara dan berhasil duduk di peringkat dua di tingkat Asia, dan yang kedua saat menjadi penyelenggara SEA Games 1997 di Jakarta.
Sebelumnya, sebenarnya Indonesia telah mengadopsi pola pembangunan seperti itu pada zaman pemerintahan Soekarno, yang menempatkan olahraga pada posisi strategis sebagai alat pembangunan bangsa (nation and character building).

Dalam era tersebut Jakarta menjadi penyelenggara Asian Games IV (1962) dan Ganefo (Games for the New Emerging Forces, 1963). Momentum saat menjadi unggul itu terlewatkan karena turbulensi politik yang membuat kepemimpinan Soekarno terputus melalui Supersemar 1966 menyusul terjadinya G30S/PKI.

Pascakepemimpinan Soekarno titik berat pembangunan olahraga lebih bersifat praktis pragmatis yang ditandai dengan pengejaran prestasi yang ditandai dengan perolehan medali—lewat proses instan. Nilai-nilai yang terkandung dalam olahraga tidak lagi menjadi dasar pembangunan manusia Indonesia. Kondisi semakin memburuk pada pascareformasi, yaitu saat bangsa ini menghadapi krisis multidimensi.

Pendapat umum menyebutkan, krisis multidimensi itu disebabkan oleh hancurnya sektor ekonomi. Namun, sebenarnya jika dilihat lebih mendalam, krisis tersebut diakibatkan oleh merosotnya kualitas manusia Indonesia yang kehilangan nilai-nilai: sportivitas, kemampuan kompetisi, ketekunan, kejujuran, disiplin, dan kemampuan bekerja sama yang semuanya itu menjadi inti dari manusia olahraga.

Jadi untuk mendapatkan kembali manusia dan bangsa Indonesia yang unggul, pembangunan di bidang olahraga merupakan salah satu pilihan yang tidak bisa diabaikan. ******

Mencari Makna dalam Bekerja

Suwardi Luis.
Harian Kompas, Minggu 24 April 2011

• Judul: The Why of Work
• Penulis: Dave Ulrich & Wendy Ulrich
• Penerbit: McGraw Hill, 2010
• Tebal: xvii+286 halaman
• ISBN: 978-0-07-173935-1

”Peran para pemimpin perlu diredefinisikan; mereka tidak lagi hanya menetapkan arah dan menyediakan struktur, tetapi juga menciptakan makna dalam pekerjaan.” Dave and Wendy Ulrich, 2010

”Manusia tidak akan pernah puas” adalah jawaban yang sering diberikan oleh pemilik usaha atau manajemen ketika ditantang untuk mengukur tingkat kepuasan karyawan. Tipe pemilik dan manajemen seperti ini pulalah yang sering mengontradiksikan kesejahteraan karyawan dengan keuntungan perusahaan. Jika perusahaan ingin untung, kesejahteraan karyawan harus dikorbankan.

Buku yang ditulis Dave Ulrich dan istrinya, Wendy Ulrich, ini mencoba menata ulang persepsi tersebut. Bagi praktisi dan akademisi di dunia manajemen, nama Dave Ulrich sudah tak asing lagi. Karyanya seperti The Human Resources Champion (1996) dan The HR Value Proposition (2005) telah menjadi panduan utama bagi pelaku bisnis dalam merevitalisasi strategi pengelolaan SDM di berbagai perusahaan dunia, termasuk di Indonesia.

Mereka bermaksud meyakinkan pembaca bahwa peningkatan kepuasan karyawan melalui penciptaan makna memiliki nilai strategis dalam mendorong kepuasan pelanggan dan pertumbuhan finansial perusahaan. Suatu survei yang dikutip menunjukkan bahwa 78 persen karyawan yang puas atau engaged dengan perusahaan akan bersedia merekomendasikan produk atau jasa perusahaannya, dibandingkan dengan hanya 13 persen karyawan yang tidak puas atau disengaged. Kunci menciptakan kepuasan tidak terletak semata-mata pada pemenuhan kebutuhan fisik atau finansial yang hanya akan berdampak singkat. Kepuasan yang hakiki akan tercipta ketika karyawan memahami makna kerja.

Manfaat makna

Salah satu cerita singkat tentang pentingnya penciptaan makna terjadi pada Teeda Butt Mam, seorang korban rezim Khmer Merah (hal 239). Pada akhir tahun 1970-an, Teeda Butt Mam dan keluarganya dipaksa pindah dari Phnom Penh, untuk menggarap sawah di daerah pertanian. Pada waktu itu sekitar 1,5 juta penduduk Kamboja meninggal karena disiksa, kelaparan, atau terkena penyakit. Setelah seorang temannya diperkosa berkali-kali hingga meninggal dunia, Teeda memutuskan untuk bunuh diri. Namun, ketika pagi dia bekerja di sawah, dilihatnya pemandangan yang mengubah pikirannya.

Dalam memoarnya, Teeda menuliskan, ”Indahnya ladang sawah yang menguning dan dilatari dengan sinaran matahari berwarna emas di langit benar-benar membuat napas saya tertahan…. Keindahan alam ini menekankan bahwa ada hal-hal dalam kehidupan yang berada di luar jangkauan kekuasaan Khmer Merah… mereka bukan yang mahakuasa. Untuk pertama kalinya saya merasa bahwa hidup memiliki sesuatu yang bermakna.” Teeda memutuskan untuk bertahan hidup dan akhirnya lari dari Kamboja untuk memulai hidup baru di Amerika.
Buku ini memaparkan bahwa pemberian makna dalam bekerja akan menciptakan dua manfaat. Pertama, pencarian makna hidup merupakan bagian dari setiap manusia. Dengan menemukan makna, seseorang merasakan pemenuhan akan hidupnya, menerima kondisi apa pun atau memiliki keberanian dalam menghadapi segala situasi. Karyawan yang mengerti ’mengapa’ mengenai target yang harus dicapai, akan bertahan meski ’bagaimana’ sulitnya pencapaian target tersebut.

Kedua, penemuan makna memiliki manfaat riil bagi perusahaan. Karyawan yang memiliki makna dalam pekerjaannya akan merasa lebih puas, loyal, dan berusaha lebih giat untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Organisasi yang berhasil mencapai kedua manfaat di atas disebut organisasi yang berkelimpahan (abundant organization).

Tugas pemimpin

Organisasi yang berkelimpahan adalah tempat kerja di mana para individu memadukan aspirasi dan tindakannya untuk menciptakan makna bagi diri mereka dan nilai bagi para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Penciptaan makna dalam organisasi bukanlah semata-mata tugas manajemen puncak atau divisi sumber daya manusia (SDM), tetapi juga tugas dari setiap pemimpin. Pemberian makna bagi karyawan dapat dilakukan oleh pemimpin organisasi dengan mengaitkan pekerjaan mereka dengan kondisi realita yang dihadapi organisasi.

Ketika pemimpin pada salah satu perusahaan teknologi yang sedang mengalami krisis memberikan penjelasan kepada karyawan bahwa setiap penghematan sebesar 50.000 dollar AS dapat menyelamatkan satu posisi pekerjaan, karyawan menjadi lebih termotivasi dan kooperatif dalam pemotongan biaya karena mereka memahami ’makna’ dari penghematan itu.

Seperti seminar yang dibawakan oleh Dave Ulrich, gaya menyegarkan yang sama tertuang dalam buku ini. Alur rasional dengan pemuatan data riset disertai kasus dan cerita singkat yang menginspirasi memudahkan pembaca untuk lebih mendalami konsep pencarian makna yang biasanya terkesan berat. Di dalamnya dipaparkan tujuh pertanyaan yang harus dijawab oleh pelaku bisnis dalam menciptakan organisasi yang berkelimpahan, misalnya: kejelasan tujuan organisasi yang menjadi dasar motivasi bagi karyawan dan kejelasan kontribusi individu yang menciptakan makna kerja yang positif. Setiap pertanyaan ini dibahas dalam setiap bab yang dilengkapi dengan kerangka berpikir, formulir penilaian serta tips praktis dalam mengimplementasi jawaban atas setiap pertanyaan.

Buku ini juga layak dibaca bagi pemimpin organisasi pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Para pemimpin organisasi pemerintahan harus mampu menciptakan organisasi berkelimpahan dengan mendorong penemuan makna bagi setiap individu pegawai negeri. Bahwa mereka adalah ’pelayan publik’ yang melalui kecepatan dan ketepatan pelayanannya memiliki peran besar dalam mengentaskan warga dari kemiskinan dan mencapai negara Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

(Suwardi Luis, Chief Executive Officer PT GML Performance Consulting)

*****

Kelas Atas Kita

Bre Redana.
Catatan Minggu; Kompas, Minggu 24 April 2011

Ada profesi yang pada dirinya tak melekat pengertian bekerja, yakni ”selebriti”. Cita-cita menjadi selebriti, kata remaja cantik. Televisi sering mengucapkan, dia adalah selebriti. Dia telah menjadi selebriti.

Sama seperti ”budayawan”, sebutan itu agaknya lebih dimaksudkan untuk menggambarkan alam dewa-dewi yang serba enak, serba ada, tak perlu bekerja. Berbeda dengan misalnya desainer yang berarti harus membikin desain, petugas asuransi yang harus cari klien dan terkadang menjengkelkan, tukang sapu yang berarti harus nyapu, dan seterusnya. Menjadi selebriti atau jenis-jenis ”pekerjaan” yang tidak usah berkonotasi kerja lebih menjadi dambaan.

Terlebih untuk suatu bangsa yang melompati fase-fase perkembangan peradaban. Bayangkanlah, tanpa pernah melalui zaman pencerahan yang mengagungkan akal budi dan pemikiran, dilanjutkan revolusi industri yang mengutamakan efisiensi serta utility, tiba-tiba masuk ke era konsumsi. Jadilah yang berkesempatan punya segalanya tanpa bekerja pamer kekayaan.

Sedangkan yang belum berkesempatan, ngiler di depan televisi, silau oleh gebyar kebendaan. Menunggu mukjizat menjadi kaya mendadak. Segala sesuatu pokoknya gemebyar, tak punya mutu sekalipun akan disukai. Ini yang seharusnya membuat kritikus maklum, mengapa program-program kita sebagian besar jelek.

Kritik terhadap banalisme kebudayaan seperti itu telah lama ada. Thorstein Veblen pernah menulis buku The Theory of the Leisure Class (terbit pertama tahun 1953), yang lalu menjadi acuan semua yang tertarik pada perilaku kelas atas. Di situ Veblen menegaskan maksudnya dengan ”leisure class”, yakni penggunaan waktu yang tidak produktif.
Dia lacak dari akarnya sejak zaman baheula, kelahiran leisure class berkoinsidensi dengan ihwal kepemilikan dalam sejarah ekonomi. Pada zaman barbarian, kepemilikan dimulai dengan kepemilikan atas perempuan—umumnya hasil rampasan. Dari kepemilikan atas perempuan terjadi evolusi sampai ke pemilikan atas hasil-hasil industri.
Kita harus melihat konteks Veblen menulis bukunya di zaman itu. Ia tengah menyorot munculnya kelas baru di Amerika pada waktu itu, nouveau riche, yang ia anggap tidak konsisten dengan kebutuhan produktivitas masyarakat modern. Kelas sosial baru itu adalah predator dari benda-benda mewah, bergaya hidup limpah ruah. Di situ ia menggunakan istilah ”conspicuous leisure”—ketidakproduktifan yang mencolok mata.

Saudara-saudara sebangsa setanah air, itu juga yang kita lihat di sekeliling kita sekarang. Pihak-pihak dan kelas penguasa yang kita ragukan produktivitasnya secara mencolok memamerkan kemakmurannya. Pakaiannya bagus, memakai jaket kulit meski ini negeri tropis, arloji mewah, cincin bermata berlian. Dari yang diam-diam kita duga korupsi sampai yang telah terdakwa sebagai koruptor dan penilep uang rakyat, semua tampil di televisi dengan kemewahan.

Itu semua adalah antitesa produktivitas. Makin Anda melihat gemebyar-nya kelas atas, sebenarnya berarti makin reyotnya kehidupan rakyat secara keseluruhan. Anda tahu sendiri, jalanan rusak di mana-mana, sekolah ambruk, kemiskinan rakyat tecermin sampai ke hantu-hantunya yang muncul di bioskop. Kuntilanak hidup di pohon, pocong ngumpet di rumah sakit, jelangkung jalan kaki ke mana-mana karena tak punya ongkos. ******