Jumlah pelongok sejak 25 April 2011

Selasa, 25 Oktober 2011

Etika Kerja dalam Islam

Tentang kapitalisme, sosiolog Max Weber yang sangat terkenal dengan bukunya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, menilai bahwa Islam tidak menghasilkan kapitalisme. Tidak ada asketis dalam Islam, dan kapitalisme telah digugurkan dari kandungan Islam. Cerita miring tentang muslim juga kita dengar misalnya dari BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth dan Clive Kessler. Harring bahkan menyebut Islam sebagai pengganggu kultural (cultural intruder).Ada peristiwa-peristiwa kecil yang menarik , yaitu event dimana Rasul Muhammad SAW mencium tangan ummatnya. Maknanya jelas: ISLAM SANGAT MENGHARAGI PEKERJA KERAS. Menurut referensi sejauh ini, tidak banyak peristiwa Nabi Muhammad SAW mencium tangan ummatnya.


Namun pendapat Weber dinilai tidak ilmiah. Kritik ini tidak hanya datang dari kalangan Muslim, bahkan dari kalangan sosiolog sendiri. Paparan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan analisanya dangkal. Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber adalah Bryan S. Turner. Weber dinilai memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti ia menganalisa calvinisme pada etika Protestan. Kritik lain datang dari Huff dan Schluchter yang menilai pencarian Weber tentang Islam belumlah tuntas.

Nurcholis Masjid pun sejalan dengan kritik ini. Kelemahan Weber adalah karena ia mengumpulkan bahan-bahannya itu hanya dari disiplin sosiologi Prancis, padahal pada orang-orang Prancis itu sosiologi Islam belum terwujud, karena hanya hasil karya pribadi-pribadi para pejabat kolonial untuk urusan pribumi, peneliti sosial amatir, dan kaum Orientalis; bukan dari kalangan sosiologi. Itupun terbatas kepada kawasan Afrika Utara saja. Hal ini pun didukung Marshall G.S. Hodgson, seorang ahli sejarah dunia dan peradaban Islam dalam bukunya “The Venture of Islam”.

Jauh setelah karya Weber tersebut, muncul beberapa tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Misalnya dari pengamatan di kalangan Muslim Turki. Mereka menemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu kawasan. Tulisan ini menyebutnya dengan kebangkitan karena adanya “Calvinist Islam.”

Pertama adalah tangan sahabat Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Saat kembali dari sebuah perjalan, Nabi berjumpa dengan Sa’ad, dan memperhatikan tangannya yang kasar, kering, dan kotor. Ketika disampaikan bahwa tangannya menjadi demikian karena bekerja keras mengolah tanah dan mengangkut air sepanjang hari; serta merta Nabi menciumnya. Sahabat lain bertanya, kenapa baginda Rasulullah SAW melakukan hal itu. Rasulullah SAW pun menjelaskan, bahwa itulah tangan yang tidak akan disentuh oleh api neraka, pula tangan yang dicintai Allah SWT karena tangan itu digunakan untuk bekerja keras menghidupi keluarganya.

Pada persitiwa lain, Rasulullah mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Mu’adz bin Jabal. Saat bersentuhan, beliau rasakan tangan itu begitu kasar. Beliaupun kemudian menanyakan sebabnya, dan dijawab oleh Mu’adz bahwa kapalan ditangannya karena bekas kerja kerasnya. Rasul pun mencium tangan Mu’adz seraya bersabda, “tangan ini dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta tidak akan disentuh api neraka”. Dua tangan ini dicium oleh Rasulullah SAW, manusia termulia, padahal tangan itu bukanlah milik seorang kaya, orang berpangkat, syeikh, kyai, atau guru. Bukan pula tangan yang digunakan untuk menciptakan dan menulis ilmu atau mengangkat senjata. Ia hanyalah tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, buku-buku jarinya mengeras dan kapalan, dan warnanya hitam dan kotor; karena ia dipakai mencangkul, mengangkat, memotong dan menggenggam dengan kuat. Tangan karena pemiliknya bekerja keras.

Peristiwa terakhir adalah saat rasul mencium tanngan putrinya sendiri: Fatimah Az-Zahra. Ini bukan karena Fatimah adalah putri kesayangannya. Rasul melakukannya karena baru saja dilaporkan oleh sahabat yang kebetulan lewat di depan rumah Fatimah, betapa Fatimah telah bekerja sangat keras menggiling gandum di rumahnya untuk menyiapkan makanan bagi anak-anaknya yang terdengar menangis.

Mencium tangan, bagi sebagian kultur merupakan bentuk penghormatan sehari-hari yang lumrah. Ini adalah simbol penghormatan kepada pihak yang diposisikan lebih tinggi. Perkara mencium tangan pada sebagian ulama dipandang sebagai sunnah, meskipun berjabat tangan merupakan anjuran yang lebih kuat. Mencium tangan adalah bentuk ekspresi yang lebih emosional. Sebuah peristiwa menceritakan bagaimana dua orang Yahudi mencium tangan dan kaki Rasulullah karena kekagumannya atas kerasulan Muhammad SAW.

Begitu banyak bukti-bukti lain yang mementahkan pendapat Weber di atas. Semua dirangkum dalam buku sederhana dan dengan bahasa enak dibaca “Tangan-Tangan yang Dicium Rasul”, penerbit Pustaka Hira, Jakarta. Sept 2011. (Buku Tangan-Tangan yang DICIUM RASUL http://syahyutialasan.blogspot.com/)

in English:

Caliptalism Ethic in Islam

About capitalism, the sociologist Max Weber who is very famous with his book The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, considered that Islam does not produce capitalism. There was no ascetic in Islam, and capitalism has been aborted from the womb of Islam. Slanted stories we hear about Muslims as well as from BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth and Clive Kessler. Harring even mention Islam as a cultural intruders. There are small events of interest, ie events where the Muhammad kissed the hands of his community. Its meaning is clear: Islam like so much to HARD WORKER. According to the references so far, not many events of the Prophet Muhammad kissed the hands of his community.


But Weber considered unscientific opinion. This criticism came not only from Muslims, even among sociologists themselves. Exposure to Weber about the ethics of Islam are not true and superficial analysis. One of the critical sociologist Bryan S. Weber is Turner. Weber considered treats and interpret Islam in fact very weak not like he analyzed Calvinism on the Protestant ethic. Another criticism came from a judge Huff and Schluchter Weber searching about Islam is not yet complete.

Nurcholis  was in line with this criticism. Weber weakness is that he gathered the ingredients it's just the discipline of sociology France, when the French people that the sociology of Islam has not materialized, as only the work of individuals colonial officials for indigenous affairs, social researcher amateur, and the Orientalist; instead of the sociology. IBHS is limited to the North African region alone. This is also supported Marshall G.S. Hodgson, an expert on world history and civilization of Islam in his book "The Venture of Islam".

Weber's work long after it, appeared a few references to the existence of "Protestant ethic" among Muslims. For instance, from observations among Turkish Muslims. They found a group of successful Muslim businessman in the region. This paper calls it a revival because of the "Islamic Calvinists."

The first is a friend of Sa'ad ibn Mu'adh hands of al-Ansari. When returning from a journey, the Prophet met with Saad, and noticed that his rough, dry, and dirty. When informed that his hands became so because it worked hard to cultivate the land and transport water throughout the day; necessarily Prophet kissed it. Another friend asked, why did the king do that Prophet Muhammad. Prophet Muhammad also explained that it was the hand that will not be touched by the fire of hell, also the hand of a loved one due to Allah's hand is used to working hard to support his family.

On the other event, the Prophet held out his hand to shake hands Mu'adh bin Jabal. When touched, he felt the hand was so rude. Beliaupun then ask why, and answered by Mu'adh that callused hands as former hard work. Apostle as he kissed the hand Mu'adh said, "this hand loved God and His Messenger, and will not touch the fire of hell". Two hands are kissed by the Prophet Muhammad, the noblest man, but the hand that is not owned by a rich, rank, sheikhs, religious scholars, or teachers. Nor is the hand that is used to create and write science or take up arms. He just hands blistered and rough palms, knuckles harden and calluses, and the color is black and dirty, because he used to hoe, lifting, cutting and grasping it firmly. Hand because the owners work hard.

Recent events is when the apostle of his own daughter kissing tanngan: Fatimah Az-Zahra. This is not because Fatima is the beloved daughter. The apostle did so because recently reported by friends who happened to pass in front of the house Fatima, Fatima what has worked very hard to grind wheat at home to prepare food for her children is heard crying.

Kissing the hand, for the majority culture is a form of homage everyday commonplace. It is a symbol of respect to the parties that are positioned higher. Case kissed hands on some scholars regarded as sunnah, even shaking hands is a stronger recommendation. Kissing the hand is a more emotional form of expression. An event tells how two Jews kiss the hands and feet because of his admiration for the Prophet Muhammad's apostolate.

So much other evidence that undermines Weber's opinion above. All summarized in a book with simple and readable language "Islamic Miracle of Working Hard" publisher Manna and Salwa, Jakarta. February 2011. (http://syahyutialasan.blogspot.com/). ******

Kamis, 12 Mei 2011

An introduction to the sociology of work and occupations

Rudi Volti.
Published 2008 by Pine Forge Press in Los Angeles .
Written in English.

Table of Contents:

Work before industrialization
The oldest and longest-lasting mode of life and work
Gathering and hunting societies in the modern world
The working lives of gather-hunters
The agricultural revolution
Farm labor and cultural change
Artisan work
Time and work
Protestantism and the rise of capitalism
Industrialization and its consequences
The industrial revolution
Capitalism and market economies
Wages and working conditions in the industrial revolution
Women in the industrial revolution
Industrialization and social protest
Making management "scientific"
The assembly line
A post-industrial revolution?
Technology, globalization, and work
Technology, work, and occupations
Work and contemporary technologies
Telework
Technology and globalization
Globalization, trade, and employment
Immigration
The organization of work in preindustrial times
Traditional societies and the organization of work
The family as a basis of work organization
Slavery
Caste and occupation
The guilds
Apprenticeship
An assessment of guild organization
Bureaucratic organization
The rise of bureaucratic organization
The elements of bureaucratic organization
Where bureaucracy works and where it doesn't
Bureaucratic organization, work, and the worker
Alternatives to bureaucracy
Professions and professionalization
The checklist approach to the professions
The professional continuum
Attaining professional status
Professionalization as a means of control
Professionals in organizations
Today's challenges to the professions
Resource control and professional
Autonomy: the case of medicine
Diversity and professional status
Getting a job
The economics of the job market
Minimum wage laws
Jobs, human capital, and credentials
Networks and their significance
Diversity in the workplace
Race, ethnicity, and hiring practices
Women in the workforce
Discrimination, occupational segregation, and pay
Getting ahead.
Who gets what?
The determination of wages and salaries: market economics once again
The widening income gap
Why has income inequality increased?
Unionization and its decline
Computers and income inequality
Globalization, employment, and income
Immigration and income
Occupational prestige
Life on the job: work and its rewards
Employment and unemployment
The personal consequences of unemployment
Varieties of employment
Work without pay
Job training and employment opportunities
Work and social interaction
Social relationships and job performance
The intrinsic satisfactions of work
Life on the job ii: the perils and pressures of work
Work may be hazardous to your health
Stress at work
Jobs, secure and insecure
Temporary workers
Alienated labor
Managerial efforts to reduce on-the-job alienation
Job satisfaction and dissatisfaction today
Workplace culture and socialization
The significance of workplace cultures
Socialization into a culture
Socialization as an ongoing processes
Socialization and identity
Occupational and organizational heroes
Rites of passage
Organizations and subcultures
Supportive workplace subcultures
Deviant subcultures
Socialization, careers, and strain
Work roles and life roles
The separation of work and residence
Hours of work
Women at work
Couples, families, and careers
Reconciling work and roles and life roles
Conclusion: work today and tomorrow
Technology, work, and occupations
Making globalization and technological change more equitable
Work and demographic change
Women, work, and families
Closing the income gap
The health care morass
The fate of the professions
Organizations for the 21st century
Jobs for the future
Index.

*****

Work

noun:

1. Physical or mental effort or activity directed toward the production or accomplishment of something.
2. a. A job; employment: looking for work.
b. A trade, profession, or other means of livelihood.
3. a. Something that one is doing, making, or performing, especially as an occupation or undertaking; a duty or task: begin the day's work.
b. An amount of such activity either done or required: a week's work.

4. a. The part of a day devoted to an occupation or undertaking: met her after work.
b. One's place of employment: Should I call you at home or at work?
5. a. Something that has been produced or accomplished through the effort, activity, or agency of a person or thing: This story is the work of an active imagination. Erosion is the work of wind, water, and time.
b. Full action or effect of an agency: The sleeping pills did their work.
c. An act; a deed: "I have seen all the works that are done under the sun; and, behold, all is vanity" (Ecclesiastes 1:14).

6. a. An artistic creation, such as a painting, sculpture, or literary or musical composition; a work of art.
b. works The output of a writer, artist, or musician considered or collected as a whole: the works of Shakespeare.
7. a. works Engineering structures, such as bridges or dams.
b. A fortified structure, such as a trench or fortress.
8. a. Needlework, weaving, lacemaking, or a similar textile art.
b. A piece of such textile art.
9. A material or piece of material being processed in a machine during manufacture: work to be turned in the lathe.

10. works (used with a sing. or pl. verb) A factory, plant, or similar building or complex of buildings where a specific type of business or industry is carried on. Often used in combination: a steelworks.
11. works Internal mechanism: the works of a watch.
12. The manner, style, or quality of working or treatment; workmanship.

13. Abbr. w Physics The transfer of energy from one physical system to another, especially the transfer of energy to a body by the application of a force that moves the body in the direction of the force. It is calculated as the product of the force and the distance through which the body moves and is expressed in joules, ergs, and foot-pounds.

14. works Moral or righteous acts or deeds: salvation by faith rather than works.
15. works
a. Informal The full range of possibilities; everything. Used with the: ordered a pizza with the works.
b. Slang A thorough beating or other severe treatment. Used with the: took him outside and gave him the works.

Adjective:

Of, relating to, designed for, or engaged in work.
v. worked also wrought (rôt), work•ing, works

v.intr.

1. To exert oneself physically or mentally in order to do, make, or accomplish something.
2. To be employed; have a job.
3. a. To function; operate: How does this latch work?
b. To function or operate in the desired or required way: The telephone hasn't worked since the thunderstorm.

4. a. To have a given effect or outcome: Our friendship works best when we speak our minds.
b. To have the desired effect or outcome; prove successful: This recipe seems to work.
5. To exert an influence. Used with on or upon: worked on her to join the group.
6. To arrive at a specified condition through gradual or repeated movement: The stitches worked loose.

7. To proceed or progress slowly and laboriously: worked through the underbrush; worked through my problems in therapy.
8. To move in an agitated manner, as with emotion: Her mouth worked with fear.
9. To behave in a specified way when handled or processed: Not all metals work easily.
10. To ferment.

11. Nautical
a. To strain in heavy seas so that the joints give slightly and the fastenings become slack. Used of a boat or ship.
b. To sail against the wind.
12. To undergo small motions that result in friction and wear: The gears work against each other.

v.tr. :

1. To cause or effect; bring about: working miracles.
2. To cause to operate or function; actuate, use, or manage: worked the controls; can work a lathe.
3. To shape or forge: "Each separate dying ember wrought its ghost upon the floor" (Edgar Allan Poe).
4. To make or decorate by needlework: work a sampler.
5. To solve (a problem) by calculation and reasoning.
6. To knead, stir, or otherwise manipulate in preparation: Work the dough before shaping it.
7. To bring to a specified condition by gradual or repeated effort or work: finally worked the window open; worked the slaves to death.
8. To make, achieve, or pay for by work or effort: worked her way to the top; worked his passage on the ship.
9. Informal To arrange or contrive. Often used with it: worked it so that her weekends are free.
10. To make productive; cultivate: work a farm.
11. To cause to work: works his laborers hard.
12. To excite or provoke: worked the mob into a frenzy.

13. Informal
a. To gratify, cajole, or enchant artfully, especially for the purpose of influencing: The politician worked the crowd. The comedian worked the room with flawless rhythm.
b. To use or manipulate to one's own advantage; exploit: learned how to work the system; worked his relatives for sympathy.
14. To carry on an operation or function in or through: the agent who works that area; working the phones for donations.
15. To ferment (liquor, for example).

Phrasal Verbs:

work in
1. To insert or introduce: worked in a request for money.
2. To make an opening for, as in a schedule: said the doctor would try to work her in.
3. To cause to be inserted by repeated or continuous effort.

work into
1. To insert or introduce into.
2. To make an opening for (someone or something) in: worked a few field trips into the semester's calendar.
3. To cause to be inserted in by repeated or continuous effort: worked the pick into the lock.

work off
To get rid of by work or effort: work off extra pounds; work off a debt.

work out
1. To accomplish by work or effort.
2. To find a solution for; solve: worked out the equations; worked out their personal differences.
3. To formulate or develop: work out a plan.
4. To discharge (an obligation or debt) with labor in place of money.
5. To prove successful, effective, or satisfactory: The new strategy may not work out.
6. To have a specified result: The ratio works out to an odd number. It worked out that everyone left on the same train.
7. To engage in strenuous exercise for physical conditioning.
8. To exhaust (a mine, for example).

work over
1. To do for a second time; rework.
2. Slang To inflict severe physical damage on; beat up.

work up
1. To arouse the emotions of; excite.
2. a. To increase one's skill, responsibility, efficiency, or status through work: worked up to 30 sit-ups a day; worked up to store manager.
b. To intensify gradually: The film works up to a thrilling climax.
3. To develop or produce by mental or physical effort: worked up a patient profile; worked up an appetite.

Idioms:

at work
1. Engaged in labor; working: at work on a new project.
2. In operation: inflationary forces at work in the economy.

in the works
In preparation; under development: has a novel in the works.

out of work
Without a job; unemployed.

put in work
To perform labor or duties, as on a specified project: put in work on the plastering.
work both sides of the street
To engage in double-dealing; be duplicitous.

work like a charm
To function very well or have a very good effect or outcome.
work (one's) fingers to the bone
To labor extremely hard; toil or travail.

*****

sociology of Work (Wikipedia)

Industrial sociology, or the sociology of work, examines "the direction and implications of trends in technological change, globalization, labour markets, work organization, managerial practices and employment relations to the extent to which these trends are intimately related to changing patterns of inequality in modern societies and to the changing experiences of individuals and families the ways in which workers challenge, resist and make their own contributions to the patterning of work and shapingof work institutions."

Labor process theory

This article may require cleanup to meet Wikipedia's quality standards. Please improve this article if you can. (September 2009). One branch of industrial sociology is Labor process theory (LPT). In 1974, Harry Braverman wrote Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century, which provided a critical analysis of scientific management. This book analyzed capitalist productive relations from a Marxist perspective.[citation needed] Following Marx, Braverman argued that work within capitalist organisations was exploitative and alienating, and therefore workers had to be coerced into servitude. For Braverman the pursuit of capitalist interests over time ultimately leads to deskilling and routinisation of the worker. The Taylorist (see Frederick Taylor, Scientific Managementwork) work design that is the ultimate embodiment of this tendency.
Braverman demonstrated several mechanisms of control in both the factory blue collar and clerical white collar labor force.

Braverman's key contribution is his "deskilling" thesis. Braverman argued that capitalist owners and managers were incessantly driven to deskill the labor force to lower production costs and ensure higher productivity. Deskilled labour is cheap and above all easy to control due to the workers lack of direct engagement in the production process. In turn work becomes intellectually or emotionally unfulfilling; the lack of capitalist reliance on human skill reduces the need of employers to reward workers in anything but a minimal economic way.

Braverman's contribution to the sociology of work and industry (i.e., industrial sociology) has been important and his theories of the labor process continue to inform teaching and research. Braverman's thesis has however been contested, notably by Andrew Freidman in his work "Industry and Labour" (1977). In it, Freidman suggests that whilst the direct control of labour is beneficial for the capitalist under certain circumstances, a degree of 'responsible autonomy' can be granted to unionised or 'core' workers, in order to harness their skill under controlled conditions. Also, Richard Edwards showed in 1979 that although hierarchy in organisations has remained constant, additional forms of control (such as technical control via email monitoring, call monitoring; bureaucratic control via procedures for leave, sickness etc) has been added to gain the interests of the capitalist class versus the workers.

*****

Minggu, 08 Mei 2011

ETOS KERJA BIROKRASI DI PEMERINTAH KOTA MALANG

Oleh: SURYONO, AGUS
Sumber http://www.adln.lib.unair.ac.id/print.php?id=gdlhub-gdl-s3-2007-suryonoagu-4019&PHPSESSID=04b240b8e11c4efa33cfe7d5fc244c0d

Dalam penelitian ini, etos kerja dipahami sebagai nilai-nilai ideal tentang kerja. Nilai adalah sesuatu yang dianggap bermanfaat, dan menguntungkan. Dengan demikian, etos kerja birokrasi merupakan perilaku kerja positif yang dianggap sebagai nilai-nilai ideal tentang kerja yang timbul dari keyakinan baik dan benar birokrat dalam birokrasi.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perdebatan pada tatanan teoritis maupun empiris mengenai etos kerja. Dari serangkaian perdebatan tersebut, terdapat problematika yang relevan untuk dikaji lebih lanjut, yaitu berkenaan dengan pertanyaan: Bagaimanakah dengan etos kerja di lingkungan birokrasi? Atau lebih khusus lagi, penelitian ini mengajukan pertanyaan: Apa karakteristik birokrasi dan karakteristik etos kerja birokrasi di Pemerintah Kota Malang? Karena selama ini, peta penelitian tentang etos kerja jarang sekali menyentuh obyek penelitian lain kecuali pada lingkungan masyarakat pemeluk agama tertentu dan wiraswasta.

Tujuan penelitian ini, adalah ingin mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai nilai-nilai apa saja yang mendasari etos kerja birokrasi? Bagaimanakah pandangan hidup birokrat dalam lingkungan birokrasi?, dan Bagaimanakah pemahaman birokrat tentang kerja, sikap kerja, keberhasilan kerja, budaya kerja, disiplin kerja, dan pelayanan publik?. Dari gambaran pemahaman ini diharapkan mampu memberikan ilustrasi dan diskripsi mengenai konstruksi etos kerja birokrasi Pemerintah Kota Malang secara keseluruhan.

Timbulnya fenomena kinerja birokrasi yang dianggap rendah dan lamban, penelitian ini berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan karena tidak dimilikinya komitmen dan konsistensi birokrat terhadap nilai-nilai etos kerja yang tumbuh dan berkembang di birokrasi. Oleh karena itu, penelitian ini menggarisbawahi arti pentingnya etos kerja sebagai alat untuk membina, mengembangkan, dan menegakkan sikap mental pegawai di lingkungan birokrasi.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dalam perspektif metode sosiologi Verstehen Weber (1969) yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan menguraikan dan menerangkan sebab-sebab dari suatu tindakan tersebut. Disamping itu, sebagai instrumen penjelas realita dan alat analisis, penelitian ini juga memanfaatkan konsep Weber (1946) tentang birokrasi rasional, tesis Weber (1958) tentang etika protestan dan spirit kapitalisme, teori McClelland (1965) tentang kebutuhan berprestasi (Need for Achievement), teori Galtung (1973) tentang sumber-sumber kekuasaan, dan teori strukturasi Giddens (1991) tentang dualitas struktur.

Ada tujuh alasan, mengapa penelitian ini menggunakan pendekatan dan teori-teori tersebut, yaitu: Pertama, bahwa tipe ideal birokrasi rasional Weber menganjurkan adanya keseimbangan antara pencapaian tujuan dan kepentingan birokrasi sebagai organisasi dan birokrat sebagai individu. Kedua, seorang birokrat dalam melaksanakan pekerjaannya, selalu terikat oleh dan dengan nilai-nilai sosial budaya dan struktur. Ketiga, nilai-nilai sosial budaya dan struktur tersebut dalam birokrasi merupakan landasan mekanisme kerja normatif yang secara legal rasional menunjukkan adanya hubungan antar satuan kerja dan tugas, serta wewenang dan tanggung jawab. Keempat, dalam kehidupan birokrat sebagai pelaku utama di birokrasi seringkali dijumpai individu¬individu yang ingin berprestasi mengembangkan kariemya, tuntutan dan harapannya sehingga selalu tidak merasa puas. Kelima, posisi birokrat dalam birokrasi merupakan satu kesatuan dari sistem sehingga terikat nilai dan tidak otonom. Keenam, peran birokrat dalam struktur dan fungsi memperlihatkan hubungan dualitas, selain mereproduksi tetapi juga memproduksi suatu nilai-nilai tertentu, sehingga tidak menimbulkan perasaan bahwa pihaknya yang terpenting dan paling penting. Ketujuh,

Giddens menjelaskan hubungan antara struktur dan individu bukan merupakan sesuatu yang dikotomis atau dualisme karakter, melainkan sebagai dua hal yang saling berhubungan secara dialektis dan kontinum sehingga menghasilkan dualitas struktur yakni tindakan individu dan struktur yang saling membutuhkan.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa nilai-nilai budaya lokal sebagai pandangan hidup birokrat menjadi preferensi umum yang mendasari etos kerja birokrasi yang sarat dengan kebutuhan akan nilai¬nilai kekuasaan (Need for Power), tetapi lemah dalam kebutuhan berprestasi (Need for Achievement) sebagaimana yang diformulasikan oleh McClelland (1965). Sumber nilai-nilai kekuasaan itu berupa kekuasaan ideologis yang menciptakan kepatuhan, kekuasaan remuneratif yang menciptakan ketergantungan, dan kekuasaan punitif yang menciptakan rasa ketakutan, sebagaimana yang diformulasikan Galtung (1973). Sumber nilai-nilai kekuasaan yang demikian, mempengaruhi pemahaman birokrat tentang makna kerja dan makna pelayanan publik yang diartikan sebagai pelaksanaan tugas dari atasan, pelaksanaan peraturan yang beriaku, dan sebagai sarana untuk kepentingan pribadi (balk secara ekonomi maupun prestise sosial). Sebagai konsekuensi dari pemahaman ini, maka dalam birokrasi muncul interaksi pelayanan publik dengan tipologi kerjasama, kompromi, konflik, kecurangan, intimidasi, dan kompensasi.

Dengan demikian, sebagai implikasi teroitisnya hasil penelitian ini selain melengkapi dan memperkaya perbendaharaan penelitian terdahulu tentang etos kerja yang selama ini di dominasi oleh pendekatan budaya dan praktek-praktek sosial dalam lingkungan masyarakat agamis dan wiraswasta, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa dalam lingkungan birokrasi, aturan-aturan formal, pendekatan struktural, pendekatan prosedural, dan kesadaran birokrat untuk mengendalikan sikap mental dan tingkah laku kerjanya, ternyata masih sangat diperlukan.

Penelitian ini juga menemukan beberapa kandungan berharga dari nilai-nilai etos kerja yang tumbuh dan berkembang di birokrasi, misalnya ungkapan: Malangkuceswara (Tuhan menghancurkan kebathilan dan menegakkan kebaikan), Ing ngarso sung tuladha (pemimpin harus berada di depan dan mampu memberi contoh), Ing madya mangun karsa (pemimpin harus berada ditengah dan mampu menciptakan inisiatif), Tut wuri handayani (pemimpin harus berada dibelakang dan mampu memotivasi orang yang dipimpin), Wikanwasitha (pemimpin harus terampil dan menguasai iimu kepemimpinannya), Wicak sanengnaya (pemimpin harus mampu mengembangkan kewibawaan dan kearifan), Mengku ning uga ngayomi (pemimpin harus menguasai seluk beluk tugasnya untuk melindungi rakyat), Waskitaprana (pemimpin harus memiliki pandangan jauh kedepan), Anggawe ngguyune wong cilik (membuat tertawanya rakyat kecil), Mahayu hayuning bawana (membuat indahnya dunia), Jer basuki mawa bea (untuk mencapai sukses harus mau berkorban), Rawe¬rawe rantas malang-malang putung (kerja tanpa pantang menyerah), Sapa nandur bakal ngunduh (siapa menanam dia akan memetik buahnya), Kerja direwangi adus keringet (bekerja disertai mandi keringat), jika mau kita bisa, waktu adalah kerja, ada hari ada kerja, ada kerja ada upah, jika ada yang mudah mengapa di persulit, pekerjaan berat akan terasa ringan bila dikerjakan bersama-sama, bekerjalah yang enak tapi jangan bekerja seenaknya, kepuasan anda merupakan tujuan utama bagi kami, jadilah pemenang bukan yang kalah, tiada hari tanpa prestasi, hari ini lebih baik daripada hari kemarin, hari esok lebih baik daripada hari ini, dan sebagainya. ungkapan-ungkapan etos kerja semacam ini, sebagaimana disampaikan Weber (1958) merupakan karaktenstik psikologis yang di perlukan dalam menciptakan budaya kerja keras sebagai pencerminan citra diri seseorang atau masyarakat yang diwamai oleh apa yang di anggap ideal dalam pola berpikir suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu.

Akhirnya, penelitian ini menggarisbawahi arti pentingnya etos kerja dan kepemimpinan legal rasional birokrasi dalam upaya membina, menegakkan dan meningkatkan disiplin kerja pegawai, memperhatikan sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment system) melalui mekanisme insentif maupun mekanisme rekrutmen kepemimpinan birokrasi, mengembangkan budaya malu dan menciptakan keteladanan kerja di Iingkungan pegawai, dan perlunya perundang-undangan yang mampu mengatur tentang standar pelayanan publik.

******

Connecting Work–Family Policies to Supportive Work Environments

Alison Cook (Utah State University)

Abstract

This research provides a theory-driven approach to study the relationship between the availability of work–family policies and family-supportive organization perceptions (FSOPs) and supervisory support perceptions (SSPs). At-risk family characteristics, which are characteristics that potentially affect work–family conflict such as a young child in the home, are investigated as a moderator of the proposed relationships. Findings substantiate positive relationships between the availability of work–family policies and FSOPs and SSPs; in addition, at-risk family characteristics are found to strengthen the relationship between work–family policies and SSPs. FSOPs and SSPs are also examined as mediators of the relationship between work–family policies and employee outcomes of intention to turnover, job satisfaction, and job burnout. Findings partially support FSOPs and SSPs as having mediating influences in the work–family policies and work attitudes relationship.

Keywords: work–family policies; work–life policies; supervisory support; organizational support

*****

Religious Groups and Work Values:

A Focus on Buddhism, Christianity,
Hinduism, and Islam

K. Praveen Parboteeah: University of Wisconsin–Whitewater, USA
Yongsun Paik: Loyola Marymount University, USA
John B. Cullen: Washington State University, USA

ABSTRACT

Although the existing literature contends that religious beliefs have a strong
impact on work values, few studies have examined the relationship. Given the sustained importance of religion in most societies and the growing diversity of the US population, companies are finding an increasing need to understand religion in the workplace. The current research uses data from 44,030 individuals in 39 countries to investigate the influence of the world’s four major religions, Buddhism, Christianity, Hinduism, and Islam on extrinsic and intrinsic work values. Controlling for important variables such as age, gender, and education, results generally support the posited hypotheses, confirming that religion is positively related to work values. Specifically, we find that all religions except Christianity show a positive relationship with extrinsic work values. Furthermore, we find that all four religions show a positive relationship with intrinsic work values. We also find that those who report no religious affiliation also view work values positively. We suggest that these results are perhaps a result of the converging effects of globalization. This article makes an important contribution to the literature by examining a large sample covering the world’s major religions. The findings suggest that most religions view work in a positive light. Such findings are important as more multinationals attempt to manage an increasingly diverse workforce worldwide.

Key words: extrinsic work values, intrinsic work values, religions

******

Work and Working Class

The Meaning of Work

It’s what you spend your days, or nights, doing. It helps define who you are. Week after week, year after year, you get up and go to work. Sure you get paid. But it’s probably not your only motivation. What, at the end of your shift or your workday, gives you a sense of accomplishment, inspiration or joy?

Working Class

This term has been found more frequently in Britain and while having an imprecise meaning, generally includes skilled and unskilled manual workers (perhaps synonymous with blue-collar workers) and sometimes lower levels of white-collar workers. Is similar in meaning to lower class unless it is used in a more Marxian sense to refer to those who work for a living ie: the proletariat.

******

Makna Kerja

Oleh: Timboel Siregar
Pekerja Indonesia di Persimpangan Jalan, Jurnal ALNI, September 2003, hal.78-79.

Istilah buruh ataupun pekerja tidak mungkin dipisahkan dari makna “kerja” itu sendiri. Apa makna kerja itu? Definisi bekerja secara umum adalah usaha mencapai tujuan. Adapun secara ekonomi, definisi bekerja adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa baik untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Jadi, ada prinsip pertukaran dalam hal ini. Namun, bekerja sesungguhnya bukan sekadar pertukaran ekonomi. Bekerja itu dalam arti yang sangat mendasar adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan hidup seseorang atau sekelompok orang dalam suatu lingkungan tertentu dimana melalui kegiatan tersebut mereka dapat menemukan jati diri (eksistensi) mereka. Bekerja dengan demikian, bukan sekadar untuk mengubah lingkungan fisik atau suatu bahan baku menjadi barang material yang dikonsumsi sendiri atau oleh orang lain lalu dipertukarkan dengan imbalan ekonomi - demikian pula bukan sekadar memberikan jasa untuk mendapatkan imbalan - melainkan bekerja merupakan bagian dari kehidupan manusia untuk mendapatkan harkat kemanusiaannya.

Karl Marx mengatakan bahwa bekerja merupakan aktivitas yang sangat hakiki bagi manusia. Bekerja adalah aktivitas yang menjadi sarana bagi manusia untuk menciptakan eksistensi dirinya. Bekerja pada dasarnya adalah wadah aktivitas yang memungkinkan manusia mengekspresikan segala gagasannya, kebebasan manusia berkreasi, sarana, menciptakan produk, dan pembentuk jaringan sosial. Manusia eksis bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain. *****

Aku Bekerja, Maka Aku Ada

Oleh: Andrias Harefa

Sumber: Majalah Manajemen
http://strategika.wordpress.com/2007/07/05/aku-bekerja-maka-aku-ada/


Kajian mengenai “mengapa orang bekerja” atau “motivasi kerja”, telah banyak dilakukan oleh para pakar berbagai disiplin ilmu, terutama psikologi. Frederick Taylor bicara soal carrot and stick (wortel dan cambuk). David McClelland dan John W. Atkinson bicara soal need for achievement-power-affiliation. Douglas McGregor bicara soal teori X dan Y. Abraham Maslow bicara soal hierarchi of needs. Frederick Herzberg bicara soal hygiene-motivational factors. Dan sebagainya. Argumen-argumen mereka menarik karena didasarkan pada penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis-ilmiah. Satu-satunya soal yang mengganjal adalah fakta bahwa studi-studi tersebut umumnya dilakukan sebelum “dunia yang dilipat” (internet) hadir seperti kita lihat hari-hari ini. Jadi manusia-manusia yang diteliti itu bukan Cohort 80-an yang nampak “aneh” bagi sebagian kita yang lahir lebih dulu. Apakah akan ada bedanya motivasi kerja generasi baru ini dengan yang sebelumnya?

Pada sisi lain ada keraguan besar tentang seberapa jauh psikologi dapat menjelaskan motivasi terdalam yang mendorong manusia bekerja. Sebab di luar bingkai psikologi masih ada bingkai ekonomi yang terkesan dominan. Lalu ada juga persepsi sosiologi dan teologi yang makin sulit diabaikan bila kita menyimak karya-karya terbaik manusia sepanjang sejarah dunia. Mengapa sebagian orang begitu mementingkan mutu atau kualitas, sementara yang lainnya tak peduli mutu? Mengapa ada yang toleran terhadap berbagai cacat (defect), sementara yang lain terkesan perfectionist? Mengapa ada yang begitu mempersoalkan imbalan yang diperoleh dari karyanya, sementara yang lain mengatakan bahwa karyanya tak ternilai, tak terbeli, dan hanya bisa dihadiahkan gratis kepada orang yang ‘mengerti’?

Saya kira semua itu menunjukkan bahwa dalam soal kerja kita harus mengaitkannya paling sedikit dengan empat nilai, yakni: nilai ekonomis, nilai personal, nilai sosial, dan nilai moral-spiritual. Orang bekerja untuk mencari nafkah hidupnya sehari-hari. Disini ia mengedepankan nilai ekonomis dari kerja. Ia bekerja untuk dapat bertahan hidup. Itu baik. Namun bila hanya untuk itu, maka apa bedanya dengan, maaf, binatang? Bila bekerja hanya untuk survive, bukankah ayam pun demikian?

Nilai personal dari kerja adalah karena dengan aktivitas yang direncanakan itu manusia dimungkinkan untuk mengalami pertumbuhannya ke arah kedewasaan dan kemandirian (otonom). Dengan bekerja kita mengembangkan talenta dan bakat-bakat yang dititipkan Tuhan kepada kita untuk dikembangkan. Dengan bekerja kita meningkatkan keterampilan kita dan menambah pengetahuan kita untuk berpikir dan bertindak rasional. Bagaimanapun kita adalah rational being, mahluk yang “berpikir’ agar “meng-ada”, Cogito ergo sum (Latin) atau Je pense, donc je suis (Perancis). Dengan menyadari hal ini maka setidaknya kita melihat diri kita sebagai physical being yang bekerja untuk hidup, dan sekaligus rational being yang mampu berpikir untuk tidak asal kerja, tidak kerja asal-asalan, tapi bekerja secara rasional. Mereka yang rasional inilah yang dewasa dan mandiri, tidak harus dipaksa-paksa dan diancam untuk mengerjakan seuatu yang merupakjan tanggung jawab pribadinya, entah sebagai karyawan, wirausaha, atau lainnya.

Nilai sosial dari kerja menambahkan kepada pengertian di atas bahwa dengan bekerja kita memberikan makna atas kehadiran kita dalam suatu komunitas tertentu. Disini kita mengembangkan jatidiri kemanusiaan kita sebagai social-emotional being. Kita adalah mahluk sosial yang hanya mungkin mengembangkan potensi kemanusiaan kita jika kita melihat diri kita dalam suatu hubungan saling bergantung dengan orang lain. Bukan berarti kita bergantung sepenuhnya (dependence), sebab dengan begitu kita tak ubah seperti parasit dan kanker dalam kehidupan masyarakat. Kita saling bergantung (inter-dependence), dimana ada hubungan saling memberi dan saling menerima. Tak boleh hanya menerima saja, tak juiga hanya memberi saja. Harus timbal balik. Itu berlaku bagi orang yang sudah sama-sama dewasa dan mandiri. Bagi mereka yang belum dewasa, belum mandiri, maka menjadi tanggung jawab sosial kita untuk membantunya, untuk lebih banyak memberi, sampai mereka menjadi dewasa dan mandiri.
Nilai moral-spiritual dari kerja adalah bahwa dengan bekerja kita dimungkinkan untuk mengakui Tuhan sebagai Tuhan, memanusiawikan manusia (diri sendiri dan sesama), dan alam diberikan Tuhan untuk dikelola guna kemaslahatan manusia yang sebesar-besarnya. Inilah dimensi “teologis” dari kerja, dimana kerja dipahami sebagai bagian dari ibadah, sebab kita ini juga moral-spiritual being.

Dalam ajaran Islam ada tertulis, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah…” (Q.S., al-Jumu’ah/62:10). Hal ini mempermudah pemahaman atas pernyataan Seyyed Hossein Nasr, profesor studi Islam asal Iran yang mengajar di Universitas Temple, Philadelphia, Amerika Serikat, bahwa, “Kerja merupakan salah satu bentuk jihad yang tak terpisahkan dari signifikansi religius-spiritual”. Juga ada ayat yang berbunyi, “Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (nabi) Musa? Dan (nabi) Ibrahim yang setia? Yaitu, bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu, melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmulah tujuan penghabisan (Q.S., al-Najm/52:36-42). Ayat inilah yang menurut Nurcholish Madjid menunjukan bahwa dalam ajaran Islam kerja adalah bentuk eksistensi manusia, dalam arti harga manusia — apa yang dimilikinya– tidak lain adalah amal perbuatan atau kerjanya itu.

Dalam ajaran Kristiani makna kerja sebagai bentuk eksistensi manusia juga ditegaskan dengan mengingat bahwa manusia diciptakan Homo Imago Dei, sebagai peta dan teladan Allah, untuk mencitrakan Allah (Kejadian 1:26-27). Dan Allah yang seharusnya dicitrakan oleh manusia itu adalah Allah yang bekerja (Yohanes 5:17, Roma 8:28). Dengan bekerja manusia menyatakan iman dan kasihnya kepada Tuhan dan kepada sesama manusia secara bersamaan (Matius 22:37-40). Jadi, dalam perspektif Kristiani, kerja itu melekat pada eksistensi manusia. Tanpa kerja manusia tidak pantas untuk makan, tidak pantas dihormati, bahkan tidak pantas untuk hidup (2 Tesalonika 3:10; 1 Tesalonika 5:12; Filipi 1:22).

Pemahaman teologis mengenai makna kerja itu setidaknya mengandung dua konsekuensi, yakni: pertama, nilai moral-spiritual dari kerja seharusnya menjadi fondasi dimana tiga nilai lainnya ditegakkan (sosial, personal, ekonomis); dan kedua, nilai moral-spiritual atau “spiritualitas kerja” ini menampakkan wujud konkritnya dalam etika dan etos kerja dalam suatu masyarakat. Disini kita diingatkan bahwa kemajuan Singapura dan Taiwan diakui secara terbuka oleh para pemimpin bangsa itu sebagai buah dari etika konfusianisme, yang menempatkan kerja (dan belajar) sebagai cara menjadi “orang terhormat”. Kapitalisme, setidaknya menurut Max Weber, adalah buah dari etika kerja protestan. Sementara etos kerja Bushido (Shintoisme?) tak mungkin dilepaskan dari keberhasilan Jepang membangun negerinya itu pasca Perang Dunia II.
Jadi, bila kita mengharapkan perbaikan dalam bidang etika dan etos kerja dalam masyarakat kita, maka kita seharusnya kembali kepada ajaran-ajaran luhur agama-agama yang hadir di Indonesia. Artinya kita harus membangkitkan kembali (revitalisasi) nilai-nilai moral-spiritual yang untuk masa sebelumnya banyak “disimpan”, bahkan “dilecehkan” oleh kita semua yang terjebak menyembah “roh materalisme” Orde Baru.

******

Ethos Kerja Orang Indonesia, Untuk Siapa?

oleh Kusmayanto Kadiman
http://netsains.com/2007/07/ethos-kerja-orang-indonesia-untuk-siapa/


Ketertinggalan Indonesia saat ini membuat kita bertanya, apakah orang Indonesia tidak punya semangat kerja seperti bangsa lain? Jika punya, mengapa negara kita “bernasib” seperti sekarang ini? Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia dengan keberhasilannya. Dikatakan bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.

Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia.

Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:
• Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat
• Yu - berani dan bersikap kesatria
• Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama
• Re - bersikap santun, bertindak benar
• Makoto - bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih
• Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta
• Chugo - mengabdi dan loyal.

Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip :
• bertindak rasional,
• berdisiplin tinggi,
• bekerja keras,
• berorientasi pada kekayaan material,
• menabung dan berinvestasi, serta
• hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.

Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan?

Ethos Kerja Indonesia

Ataukah etos kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta? Dalam buku “Manusia Indonesia” karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.

Hasil pengamatan para cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisasikan, tumbuh kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.
Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.

Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda mengunjungi kita.

Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake.
Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air.Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini.
Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.

Nalar

Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.

Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari etos kerja.“. . . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts respect for himself from all other rational beings in the world.” 1a* Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals. Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma, perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.

Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi penekanan pada arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian Calne dalam bukunya Within Reason sama sekali tidak menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik ataupun hidup lebih baik.

Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik. Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini: “. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to some further end, but in itself . . . ”

Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini: Immature love says: ”I love you because I need you.” Mature love says: ”I need you because I love you.” ******

Work Demands and Family Responsibilities:

An Exploration of Problems and Solutions

by Mie Kennedy
http://www.lclark.edu/%7Esoan221/96/work&family.html

Currently about 44% of the workforce is women and by the year 2005, it is estimated that the percentage will rise to 47% to 48%. The 1950s image of the traditional family where there was one breadwinner, usually the man, and the wife being the homemaker serving as the nurturing mother for the family is an image of the past. A majority of families are dual-career and working women are the norm.

There are several major reasons for this change. One is that women want to have a fulfilling career that brings meaning to their lives outside of the family and homemaking roles. Available options for women are increasing and many women look for fulfillment through their work. Another main reason for change is economical. To achieve a certain lifestyle that used to afforded by one income now demands two. In many cases, just surviving demands the employment of women (click here for graph) (Working Woman, December 1995, 16). Our expectations of what is necessary in life has risen to ever more expensive heights due to new technologies and household goods. Our conception of leisure plays into this as well.

However, despite the change in women's working trends, our acceptance of an "average" work schedule has not significantly changed. We assume that 8 hours a day, 5 days a week is the normal requirement for any serious work. Yet, this schedule was established over the years by men in management who had the support of their wives working full-time at home. In addition, commitments required for careers disregard the unpredictable needs of children or women's unique needs. Problems such as child care, sleep deprivation, dissatisfaction with family life (as in not enough time to spend with partner or with children), and stress are increasingly being talked about. Thus, with more women working out of the home, how we organize work and family time is being seriously challenged. Possible changes and solutions are beginning to be explored by both employers and employees of large and small businesses. *****

Senin, 25 April 2011

Benarkah Etos Kerja Orang Bali Menurun ?

Sumber: http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=news&pid=624

Oleh: Adi Blue

Beberapa hari lalu, di Buleleng beredar sebuah selebaran yang berisi semacam otokritik bagi orang Bali. Selebaran yang berisi nama pengirim dan nomor HP dengan jelas dan dikirim kepada sejumlah pejabat penting itu menyoroti dengan telanjang orang Bali yang bermental priyayi. Sementara peluang-peluang bisnis, termasuk tanahnya dikuasai oleh orang luar Bali. Pengirim selebaran itu mengaku prihatin. Jika etos kerja orang Bali tidak diperbaiki maka sepuluh tahun ke depan niscaya orang Bali akan menjadi tamu di daerahnya sendiri. Seorang PNS di Pemkab Buleleng berkomentar bahwa isi selebaran itu memang banyak benarnya. Selebaran itu diakui sangat mewakili keprihatinan yang dirasakan PNS itu saban hari. "Saya tak berani mengungkapkan keprihatinan saya, tetapi selebaran ini cukup mewakili perasaan saya," kata PNS itu di lobi Kantor Bupati Buleleng belum lama ini. Pertanyaannya sekarang, benarkah etos kerja orang Bali menurun? Bagaimana sebenarnya etos kerja orang Bali jika dikaitkan dengan ajaran agama Hindu?

Pemerhati sosial-agama dari IKIPN Singaraja Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, Dip.App.Ling.,M.Sc. mengungkapkan, secara normatif etos kerja orang Bali itu sebenarnya sangat tinggi. ''Coba lihat ke belakang. Sesuai ajaran agama Hindu, orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan kerja itu adalah karma. Orang Bali bekerja terus-menerus tanpa memikirkan hasil, karena kerja yang baik adalah karma yang baik,'' ujarnya.

Kata Dewa Komang Tantra, yang menjadi petani akan turun ke sawah saat matahari baru saja terbit dan pulang ke rumah ketika matahari sudah tenggelam. Kalaupun perlu istirahat, petani kita dulu istirahat sebentar. Istirahatnya pun di tengah sawah dengan membuka bekal yang dibawa dari rumah. Kalau menjadi pematung seperti Cokot dan Ida Bagus Tilem, mereka akan terus mematung tanpa pernah memikirkan hasil. "Jadi, secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas," kata dosen sejumlah fakultas di IKIP Singaraja itu.

Contoh lain, kata Dewa Tantra, adalah buruh bangunan. Orang Bali biasanya kalau bekerja jadi tukang bangunan, pekerjaan akan sangat disenangi karena hasilnya bagus. Tukang dan buruh bangunan itu memang bekerja dengan baik karena menganggap bahwa bekerja menjadi tukang itu adalah karmanya sebagai manusia. "Mereka akan bekerja dengan baik, entah siapa pemilik rumah yang dibangunnya," ujarnya.

Dulu, tak ada peluang bagi orang Bali untuk memiliki etos kerja yang buruk. Pura-pura didirikan dengan semangat yang tinggi, meskipun dulu masyarakat Bali secara ekonomi tidak sekaya sekarang. Karena keyakinan dari pemahaman agama yang cukup baik, di mana bekerja dan berkarya adalah berkarma, bukan semata-mata mencari hasil secara ekonomi. "Makanya, dulu masyarakat Bali itu sederhana, polos, tak bermental priyayi," katanya.

Kenapa dulu etos kerja orang Bali begitu tinggi? Dewa Komang Tantra menilai, dulu spiritualitas masyarakat Bali itu tinggi, sedangkan materialitasnya begitu rendah. Orang bekerja karena karma yang diyakininya sesuai ajaran agama, tanpa memperhitungkan nilai materi. Dengan keyakinan itu, orang Bali tak memilih-milih pekerjaan. Semua pekerjaan luhur. Yang jadi petani merasa karmanya memang jadi petani sehingga mereka bekerja dengan setia. Yang menjadi buruh juga begitu, menjalankan swadharmanya sebagai buruh dengan baik.

Tetapi, Dewa Komang Tantra menilai telah terjadi semacam paradoks besar-besaran. Nilai spiritualitas orang Bali rendah, sementara materialitasnya makin tinggi. Ini terjadi karena adanya pengaruh nilai-nilai modern yang lebih mementingkan status dan materi. Orang mulai memilih-milih pekerjaan. Yang sarjana tak mau lagi turun ke sawah. Pengejaran status itu kemudian memunculkan mental priyayi. Bahkan, sekarang sudah mulai ada status pekerjaan kasar dan pekerjaan halus. Kerja kasar dan kerja halus ini merupakan pengaruh dari kategori Barat, di mana di situ memang dikenal adanya pekerja kerah biru (kerja kasar) dan pekerja kerah putih (kerja orang-orang berdasi). Dengan mental priyayi yang menginginkan pekerjaan kerah putih ini menyebabkan banyak peluang kerja lain yang tidak dipedulikan lagi oleh orang Bali. Pekerjaan di sektor informal, seperti buruh bangunan, pedagang kecil pinggir jalan, petani atau buruh tani yang ditinggalkan orang Bali mulai disambar oleh orang dari luar Bali. Orang Bali hanya bisa mengeluh tak pernah mendapatkan pekerjaan karena mereka selalu memilih pekerjaan.

Padahal, kalau dilihat secara ekonomi, pekerjaan di sektor informal penghasilan bisa jauh lebih tinggi ketimbang bekerja di sektor formal. Seorang pegawai negeri sipil yang berbekal ijazah sarjana awalnya hanya mendapatkan gaji tak lebih dari Rp 500 ribu sebulan. Tetapi pedagang bakso yang berjualan secara sederhana penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp 25 ribu. Belum lagi pedagang bakso yang berjualan secara serius dalam sebuah rumah makan yang digarap dengan manajemen yang baik.

''Tetapi jarang orang Bali mau jadi pedagang bakso. Mereka tetap punya keinginan menggebu-gebu untuk menjadi pegawai negeri yang statusnya dianggap lebih priyayi,'' katanya.

Dewa Komang Tantra yang kerap menjadi konsultan di berbagai lembaga di Jakarta ini bercerita tentang temannya, orang Hindu yang mau memberikan modal kepada orang-orang Bali unuk bejualan bakso babi dan ayam secara keliling. "Namun sambutannya sangat minim," kisahnya.

Fenomena ini, menurut Tantra, memang menjadi tantangan bagi orang Bali sendiri. Di zaman globalisasi yang tanpa sekat dan pagar ini orang Bali tidak seharusnya menyalahkan orang luar Bali. "Kita sendiri yang salah sehingga harus introspeksi dan mulai melakukan perubahan," katanya.

Etos kerja seharusnya mulai ditumbuhkan dengan keyakinan yang tinggi bahwa kerja itu adalah karma. Semua pekerjaan luhur, semua pekerjaan baik. Yang jadi petani tetap bangga jadi petani, yang jadi pedagang tetap bangga jadi pedagang. Menumbuhkan etos kerja ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Misalnya bagaimana pendidikan informal di rumah mulai diperbaiki. Komang Tantra melihat sistem pendidikan keluarga di Bali belum berperan besar dalam membentuk mental dan spiritual generasi muda di Bali. Keluarga sangat berperan dalam menumbuhkan kedisiplinan orang Bali sejak dini. "Dengan kedisiplinan yang tinggi maka etos kerja generasi muda akan tetap terjaga dengan dasar nilai-nilai agama Hindu," tandasnya.
* adnyana ole.
Sumber: BaliPost
****

Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/15/opi01.html

Oleh: Feisal Tamin

Tantangan yang dihadapi aparatur negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan benar.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengembangkan program yang menyangkut budaya kerja aparatur, peningkatan efisiensi, disiplin, penghematan, dan kesederhanaan hidup, yang semuanya diarahkan pada perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government).

Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku serta peradaban bangsa.
Budaya kerja aparatur negara dapat diawali dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi, atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan.

Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Untuk mengimplementasikannya diperlukan perbaikan persepsi, pola pikir, dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Proses Sosialisasi

Peningkatan kinerja aparatur baik secara individu dan secara nasional akan dapat berdaya guna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi dengan cara penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk pengembangan jati diri, sikap dan perilaku aparatur negara sebagai pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja melalui pengembangan kerja sama dan dinamika kelompok; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki kebijakan publik; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan manajemen dan pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan, evaluasi kinerja dan penegakan hukum secara konsisten.

Budaya kerja ini diharapkan tidak terhenti sebagai wacana melainkan benar-benar bisa terwujud sebagai standard operating procedure. Karena itu dua pendekatan dapat ditempuh secara strategis yaitu sosialisasi dari dalam aparatur negara sendiri dipadukan dengan sosialisasi kepada masyarakat.
Sosialisasi kepada masyarakat sangat strategis karena dapat membentuk opini publik yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap perubahan lingkungan sosial yang mampu ”memaksa” perubahan sikap dari perilaku setiap aparatur negara.

Nilai Budaya

Sistem nilai budaya merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia/ individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja aparatur negara.

Hal tersebut disebabkan karena secara praktis budaya kerja mengandung beberpa pengertian. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja.

Di dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi) baik sosial maupun lingkungan sosial.
Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya, di samping itu bekerja juga merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan.

Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja.

Secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan profesional.

Hampir 50% PNS belum produktif, efisien, dan efektif, ditinjau dari aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan pengawasan. Dari sisi kelembagaan, masih terjadi duplikasi atau overlapping; bentuk organisasi belum berbentuk piramidal, akan tetapi masih berbentuk piramida terbalik.
Dilihat dari kepegawaian juga masih terjadi pengalokasian PNS yang tidak profesional antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. PNS lebih didominasi oleh golongan II dan I (hampir 70%) dari total pegawai.

Dilihat dari ketatalaksanaan dan pelayanan publik, terjadi sistem prosedur pelayanan yang belum transparan, berbelit-belit dan terjadi praktik KKN. Oleh karena itu komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti.
Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masih banyak terjadi praktik KKN antara lain disebabkan: pertama, masih banyak peraturan perundang-undangan yang memberi peluang terjadinya praktik KKN dan perlu ditinjau kembali. Kedua, budaya minta dilayani menjadi budaya melayani masyarakat memerlukan waktu untuk diubah.
Ketiga, rendahnya tingkat disiplin masyarakat dan tingkat disiplin aparatur, dan keempat, belum berfungsinya secara baik aparat pengawas fungsional pemerintah termasuk aparat penegak hukum.

Etika Kebijakan

Dalam pengembangan budaya kerja aparatur, telah disusun pedoman pelaksanaan pengembangan budaya kerja aparatur negara beserta teknis dan mekanisme pelaksanaannya, sosialisasi penerapan nilai-nilai budaya kerja aparatur dan ditunjang dengan pelaksanaan pelatihan untuk ”mindsetting and value” di lingkungan aparatur pemerintah, perumusan RUU tentang Etika Aparatur Negara (RUU Perilaku Aparat Negara), sebagai acuan kode etik begi aparat negara dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.

Selanjutnya telah dilaksanakan pengembangan budaya kerja aparatur negara di lima daerah percontohan yaitu Jambi, Gorontalo, Pandeglang, Kabupaten Kutai Timur dan kota Pare Pare.

Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi Pemerintah” untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.
Dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan privatisasi; Pengembangan sistem dan metode kerja aparatur; Penerapan sistem merit dalam manajemen PNS; Penerapan sistem remunerasi PNS yang layak dan adil; Pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas.

Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di antaranya: Pertama, penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya tentang Etika Aparatur Negara (RUU Perilaku Aparat Negara), sebagai acuan kode etik begi aparat negara dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.
Selanjutnya telah dilaksanakan pengembangan budaya kerja aparatur negara di lima daerah percontohan yaitu Jambi, Gorontalo, Pandeglang, Kabupaten Kutai Timur dan kota Pare Pare.

Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi Pemerintah” untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.
Dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan privatisasi; Pengembangan sistem dan metode kerja aparatur; Penerapan sistem merit dalam manajemen PNS; Penerapan sistem remunerasi PNS yang layak dan adil; Pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas.

Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di antaranya:

Pertama, penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya organisasi pemerintahan yang ramping, efektif, dan efisien yang dapat mendukung peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional dan global.

Kedua, pengaturan tata laksana pemerintahan dengan sasaran terbentuknya mekanisme, prosedur, hubungan, metode, dan tata kerja aparatur negara yang tertib dan efektif.

Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan sasaran hadirnya pegawai negeri sipil yang proporsional, netral, dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan serta tindakannya.

Keempat, pemberantasan KKN dengan sasaran tampilnya aparatur negara yang bebas KKN dan kinerja instansi pemerintah yang accountable. Dan Kelima, peningkatan kualitas pelayanan publik dengan sasaran terwujudnya pelayanan publik yang sederhana, transparan, tepat, terjangkau, lengkap, wajar, serta adil.

Diharapkan dengan strategi dan langkah-langkah konkret dimaksud dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan publik terhadap performance, baik instansi maupun pejabat publik, pada gilirannya dapat mendekatkan pemerintah dengan masyarakat serta terjalin aliansi atau linkage antara institusi negara, masyarakat, dan sektor swasta.

Aliansi antara ketiga pilar tersebut (pemerintah, masyarakat, dan kalangan swasta) diperlukan untuk menghindari sikap dan perilaku aparat pemerintah terjebak dalam pola birokrasi yang kaku eksklusif dan kebebasan berkreasi.

Semangat reformasi birokrasi yang menjadi harapan masyarakat seyogyanya memotivasi setiap pengambil kebijakan pada instansi pemerintah mana pun, baik di pusat maupun di daerah agar memiliki kemauan dan keberanian secara moral dan politik, untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terwujudnya good governance yang dapat mendukung kelancaran dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah secara demokratis.

Akhirnya, komitmen untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam mewujudkan birokrasi profesional yang tekah menjadi agenda nasional, seiring dengan tuntutan demokratisasi dan globalisasi, sangat memerlukan konsistensi dan kontinuitas perjuangan baik oleh pemerintah, masyarakat, dan kalangan dunia usaha tanpa tergantung kepada siapa yang memegang kendali pemerintahan.

Karena itu sosialisasi dan impementasi tata pemerintahan yang baik perlu terus ditingkatkan sehingga resonansi dan gerakan bersih, transparan, dan profesional dapat menjadi agenda semua pihak dan perlu dicanangkan di segala bidang kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Penulis adalah Menteri Negara Pendayaguanaan Aparatur) *****

Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko

sumber: http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

Menyebut kata "Samin" di sekitaran Kabupaten Blora, Jawa Tengah, bisa dibilang sensitif. Sebagian kalangan, terutama pemerintah, masih alergi bila pembicaraan menyinggung perihal Samin. "Ah itu sebenarnya 'kan sudah tidak ada," tegas seorang pamong di Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora. Ia lantas mengingatkan agar tak mengangkat soal Samin. Kalaupun masih berminat menulis masyarakat Samin, ia wanti-wanti agar mengurus izin langsung ke bupati. Hah! Segenting itukah sehingga seorang bupati harus repot-repot ikut campur?

Faktanya, Samin memang dipandang dengan kacamata buram. Ia identik dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tak mau bayar pajak, enggan ikut ronda, suka membangkang, suka menentang. Bahkan tuduhan seram: ateis.

Di masa Orde Baru misalnya, tanggalnya ajaran saminisme oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai tahapan yang patut diupacarakan. Pernikahan massal sembilan pasang warga Desa Karangrowo, Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada 3 Januari 1997, misalnya, diupacarakan sebagai tanda ditanggalkannya ajaran saminisme yang turun-temurun dianut oleh sembilan pasangan itu (Kompas, 7 Januari 1997).

Tapi sebenarnya, ateiskah mereka? Barangkali orang tidak memperoleh gambaran jernih tentang paham saminisme, yang acap dinamakan "Agama Nabi Adam". Soal ini, menurut Darmo Subekti (63), budayawan dan mantan Kepala Humas Kabupaten Blora yang pernah duduk dalam tim penyusunan sejarah Kabupaten Blora, "Samin tidak seperti yang disangkakan orang, ateis. Mereka mengenal Sang Hyang Wenang, Tuhan."

Dalam pemikiran Darmo Subekti yang pernah diinterogasi oleh Kantor Sosial Politik Kabupaten Blora gara-gara menulis "Generasi Baru Samin" di Suara Merdeka, 19 Juli 1989, cap ateis muncul lantaran aparat kesulitan mengelompokkan masyarakat itu. Daripada susah-susah akhirnya digolongkan saja sebagai kelompok ateis. "Etnis bukan, keagamaan bukan, paling gampang ya ateis," ucap Darmo getir.

Sulit dipercaya bagaimana masyarakat kemudian cenderung lebih mempercayai gambaran negatif itu bila membicarakan soal Samin. Padahal, menurut Darmo, saminisme adalah sebuah pergerakan melawan pemerintah Belanda yang berawal ketika Belanda melakukan pematokan tanah untuk kegiatan penanaman hutan jati tahun 1870.

Guru tanpa buku

Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan, pergerakan Samin tumbuh tahun 1890 di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.

Para pemimpinnya adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca ataupun menulis. Perintisnya, Samin Surosentiko/Surosentika atau disebut singkat Samin Surontiko/Surontika (kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914), seorang buta aksara.
Pakar folklor humanistis Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.

Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.

Di masa sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal. Suripan Sadi Hutomo menuliskan, Samin Surosentiko, tanpa persetujuan dirinya, oleh para pengikutnya dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.

Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda.

Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, "Kanggo!" (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan "Wong ora bisa basa" atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan.
Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak.

Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.
Citra yang tidak sebenarnya

Gerakan ini selesai dengan sendirinya saat Belanda hengkang dan kemerdekaan RI diproklamasikan. Gerakan sudah tak mempunyai musuh. Kalaupun kemudian masyarakat masih mengendapkan citra buruk tentang Samin ini lantaran kesalahan aparat dalam mensosialisasikan inti gerakan ini.

Akibatnya, banyak hal yang dulu dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Misalnya kebiasaan membangkang, tak mau bayar pajak, atau enggan ikut ronda. Padahal, menurut Darmo Subekti, pengabaian pembayaran pajak dipakai sebagai media melawan Belanda. "Mereka waktu itu memang menentang, tetapi di zaman republik mereka lebih taat," kata Darmo.

Tetap saja, olok-olok tak bisa dihindarkan. "Orang Samin itu ya seperti itu. Ditanya berapa lembunya, jawabnya dua, jantan dan betina. Walau kenyataannya punya banyak lembu," komentar sebagian masyarakat. "Ditanya pekerjaannya apa, jawabnya laki (kawin/sanggama), karena kalau yang dimaksud pekerjaan semacam profesi, orang Samin menyebutnya penggautan atau nafkah. Misalnya, bertani," Darmo Subekti memberi ilustrasi gaya komunikasi lisan langgam Jawa ngoko yang sering menimbulkan salah tafsir.

Perbedaan penafsiran karena bahasa, belakangan melebar ke hal lain di luar komunikasi. Misalnya, perilaku yang dianggap tidak sejalan dengan orang lain. Sampai-sampai, kepada orang non-Samin yang menunjukkan perilaku buruk, orang tak segan menyebut "nyamin" alias berperilaku seperti orang Samin.

Istilah berkonotasi ledekan itu menyebabkan orang Samin asli enggan menyebut diri Samin, melainkan "orang Sikep", yakni orang yang memegang teguh ajaran yang diturunkan secara turun-temurun. Beberapa ajaran yang dicatat Suripan misalnya angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), dan angger-angger lakonana (hukum perihal yang perlu dijalankan). Hukum pertama berbunyi "Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, mbedhog nyolong, yang artinya jangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil milik orang lain. Hukum kedua berbunyi "Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu." Makna ungkapan simbolis itu, kita harus memelihara mulut kita dari kata-kata yang tidak senonoh atau menyakitkan hati orang lain. Sedangkan hukum ketiga berbunyi "Lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni". Maksudnya, orang Samin harus ingat pada kesabaran, "bagaikan orang mati dalam hidup".

Bisa dipahami, orang Sikep, seperti dikatakan Pramugi Prawirowijoyo (41), generasi ke-4 Samin yang tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Blora, sudah merasa menjadi bagian dari warganegara Indonesia sejak kemerdekaan RI. Tidak ada perbedaan dengan warga negara lain. "Mulai detik kemerdekaan itu, apa yang jadi kewajiban masyarakat dipenuhi. Bayar pajak nomor satu, kerja bakti berangkat duluan," jelasnya.

Lebih jauh peraih Kalpataru pengabdi lingkungan tahun 1997 itu mengungkapkan, dalam soal tata pemerintahan, masyarakat Samin mengikuti dan taat pada aturan yang ada. Misalnya tata cara perkawinan secara resmi mengikuti aturan nasional. Cuma dalam adat Sikep dikenal istilah nyuwita. Seorang pria yang akan meminang wanita Sikep akan bekerja dan mengabdi selama beberapa waktu pada keluarga calon mempelai putri. Nyuwita terutama dilakukan bila kedua calon mempelai belum cukup umur. Tetapi bila sudah cukup umur, keduanya bisa langsung menikah.

Selain tata cara perkawinan, berbagai ajaran Sikep masih terus dijalankan. Misalnya memulai hari dengan semacam ritus menghadap ke timur sebagai kawitan, dan mengakhiri hari sebagai wekasan menghadap ke barat. Di antara keduanya adalah masa terang atau rina yang mewajibkan orang Sikep bekerja keras sesuai bidangnya. Contoh lain, seperti umumnya orang Jawa tradisional, pada hari kelahiran (weton) membuat bancakan atau hidangan selamatan sekadarnya.

Tidak antisekolah

Di Desa Sambongrejo, sekitar 8 km dari Cepu, masyarakat keturunan Samin hidup selayaknya warga biasa. Mereka bercocok tanam cabai, jagung, kacang, dsb. Di desa ini terdapat sebuah bangunan SD yang didirikan tahun 1960-an.
Keberadaan SD ini juga menandakan orang-orang Sikep tidak antisekolah. memang, ketika Belanda masih bercokol mereka menolak istitusi sekolah. Sekolah dianggap menciptakan bendoro (kaum elitis) dan bukan lagi rakyat (kawulo). "Soalnya, kalau sudah sekolah akan menjadi antek Belanda," jelas Karmidi Karsodihardjo (78), ayah Pramugi yang dikenal sebagai sesepuh Sikep.

Ketika Belanda pergi, ajaran lisan mereka masih tetap diturunkan. "Ana tulis tanpa papan, ana papan sakjeroning tulis," jelas Pramugi menggambarkan ajaran itu ditularkan lewat ucapan disertai contoh keseharian.

Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Sikep adalah kesederhanaan. Bahkan Arpan, penilik kebudayaan Kecamatan Sambongrejo yang wilayahnya membawahi Desa Sambong menuturkan, dalam manajemen keluarga, orang-orang Samin lebih teliti dibandingkan dengan non-Samin. Mereka tidak membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. "Sehingga secara rata-rata mereka kaya. Lembunya saja bisa sampai 10, cukup banyak untuk ukuran rakyat biasa," katanya.

Apa yang diungkapkan Arpan sejalan dengan pandangan Darmo Subekti bahwa kejujuran dan kerja keras merupakan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin. Walaupun kalau dirunut ke belakang, sulit diketahui bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu lantas mengalami metamorfosa menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini. Kadang dipegang dan diterapkan secara kaku, terlalu idealistis, bagai tak berkompromi dengan pandangan masa kini. Faktor itu yang masih sering disalahartikan oleh orang-orang yang tidak senang.
Misalnya soal anggapan bahwa tamu tidak akan diberi hidangan lagi kalau pernah menolaknya. Padahal menurut Pramugi, pandangan itu lebih didasari rasa tidak senang kepada orang Sikep ketimbang penilaian objektif. "Kalau tamunya tidak suka kopi atau membahayakan badannya ya masa dikasih kopi?" katanya.

Bagi orang Sikep, tamu atau dalam bahasa mereka disebut sedulur (saudara), mempunyai arti penting. Dari mana pun datangnya dianggap saudara. Darmo Subekti punya pengalaman mengesankan. Suatu hari mobil yang ia tumpangi bersama empat orang lainnya mogok di tepi hutan. Atas jasa baik orang Sikep, mobil itu didorong dan mesinnya berhasil hidup. Kemudian orang Sikep mengajak mampir ke rumahnya. Di situ Darmo dan teman-temannya dijamu makan lengkap dengan lauk ayam, sayur lodeh, dan air. Ketika ia mau memberikan tips berupa uang, orang-orang Sikep itu menolak.
Yang juga mengagetkan Darmo barangkali adalah kerelaan untuk memberikan apa yang mereka miliki pada sesama orang yang membutuhkan. Padahal, dilihat dari sisi orang Sikep, pemberian itu bukan berarti menghilangkan segala-galanya. Sebab mereka menggunakan istilah meminjamkan, bukan memberikan. Bagi yang akan meminjam mengatakan tak nggone sik (saya pakai duluan).

Zaman telah berubah, penjajah telah pergi, tapi setumpuk nilai luhur masih dijalani oleh sebagian orang Sikep. Waktu yang akan menguji, apakah akan jadi pegangan selamanya, atau terkikis pelan-pelan hingga tinggal slogan yang tidak sesuai kenyataan. (G. Sujayanto/Mayong S. Laksono) *****

Selamat Datang di PT Spirit MAHARDIKA

Sumber: http://www.institutmahardika.com/welcome.htm

Dalam kamus Webster, etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi sekelompok orang atau sebuah institusi (guiding beliefs of a group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin kerja yang diyakini oleh sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.

Pandangan cerdas E.F. Schumacher dalam bukunya Small Is Beautiful lebih mempertajam peranan etos kerja ini. Schumacher berkata bahwa pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dari manusia: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumberdaya tetap terpendam tak dapat dimanfaatkan. Schumacher menegaskan sumberdaya material atau uang bersifat sekunder. Yang primer ialah sumberdaya manusia.

Tesis ini sebenarnya mula-mula dikemukakan oleh Max Weber dalam analisanya tentang kemajuan bangsa Jerman secara umum dimana etos Calvinisme di tingkat ekonomi ternyata berhasil menjadi basis bagi pengembangan kapital bangsa itu. Di Asia, etos Samurai juga telah dikenali sebagai basis kemajuan ekonomi bangsa Jepang yang spektakuler usai perang dunia kedua.

Jansen Sinamo dalam bukunya Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital (2002) menata tiga elemen tesis Schumacher menjadi etos kerja, pengetahuan, dan ketrampilan organisasional. Senafas dengan Schumacher, Sinamo menegaskan bahwa etos kerja adalah elemen sukses paling primer. Ibarat pohon, etos kerja adalah akarnya, pengetahuan adalah batangnya, ketrampilan organisasional adalah daun dan rantingnya, sedangkan uang dan barang-barang material adalah buahnya.

Namun, meskipun etos kerja merupakan komponen paling primer, ternyata ia tidak selalu membawa sukses signifikan apabila pengetahuan dan ketrampilan organisasional tidak berkembang proporsional. Hal ini dikemukan Mohammad Sobary dalam bukunya Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi (1996). Sobary menyimpulkan bahwa etos kerja yang baik tanpa diimbangi dengan pengetahuan ekonomi (misalnya apa produk yang disukai pasar, apa hambatan usaha yang ada, siapa pesaing-pesaing yang ada) dan ketrampilan organo-manajerial (misalnya bagaimana membentuk lembaga-lembaga ekonomi, memobilisasi modal, menjalankan perusahaan secara efisien ) yang memadai maka sukses komersial yang mungkin dicapai akan sangat terbatas.

Secara khusus, berangkat dari ketiga tesis pendahulunya, Jansen Sinamo menyimpulkan bahwa etos kerja adalah basis keberhasilan di tiga tingkat: personal, organisasional dan sosial. Dalam bukunya, Sinamo membuktikan bahwa pengembangan etos kerja profesional di perusahaan akan memperkuat karakter sang manusia pekerja, mempertinggi kompetensi profesional mereka, dan menghasilkan kinerja-kinerja unggul sebagai buahnya. Dalam bahasa ringkas Jansen Sinamo memproklamirkan bahwa kekuatan sebuah organisasi termasuk suatu bangsa ditentukan oleh etos kerja warganya.

Jansen Sinamo WorkEthos Training Center adalah sebuah institusi swasta independen yang bergerak dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia bagi organisasi. Jansen Sinamo WorkEthos Training Center secara khusus memfokuskan diri pada pengembangan etos kerja profesional, kepemimpinan etis, inovasi sistematik, dan keunggulan insani.

Jansen Sinamo WorkEthos Training Center percaya bahwa organisasi yang sukses adalah organisasi yang bertindak sebagai agen pembawa rahmat bagi masyarakat dan kemanusiaan secara luas. Dalam idiom bisnis konsep ini diterjemahkan sebagai wealth creation atau profit making yang memenuhi syarat-syarat good corporate governance maupun corporate excellence. Organisasi demikian ditandai dengan kukuhnya sejumlah infrastruktur organisasi unggul, yakni: visi bisnis yang jauh membentang, misi organisasi yang kuat mengikat, strategi usaha yang padu serasi, nilai-nilai dasar yang koheren holistik, falsasah usaha yang ideal harmonis, perilaku kerja yang konsisten positif, berwatak ramah budaya dan serasi lingkungan serta orientasi kerja pada keunggulan insani berdasarkan the spirit of success yang kemudian tampil sebagai sehimpunan etos kerja profesional.

Sebagai pusat pembentukan dan pengembangan etos kerja profesional Jansen Sinamo WorkEthos Training Center adalah perintis pertama dan pionir dalam studi dan pengembangan etos kerja di Indonesia. Dalam konsep yang dikembangkan oleh Jansen Sinamo digagas pentingnya delapan paradigma kerja profesional, yaitu: kerja adalah rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan.

Di tingkat perilaku kerja kedelapan paradigma ini akan membuahkan delapan perilaku kerja utama yang sanggup menjadi basis keberhasilan baik di tingkat pribadi, organisasional maupun sosial, yaitu: bekerja tulus, bekerja tuntas, bekerja benar, bekerja keras, bekerja serius, bekerja kreatif, bekerja unggul, dan bekerja sempurna.

Dalam bentuknya yang formal seperti disajikan dalam buku Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital Global (2002) Jansen Sinamo mempresentasikannya dalam bentuk yang elegan sebagai berikut:

1. Kerja adalah Rahmat: Kita Harus Bekerja Tulus Penuh Syukur
2. Kerja adalah Amanah: Kita Harus Bekerja Benar Penuh Integritas
3. Kerja adalah Panggilan: Kita Harus Bekerja Tuntas Penuh Tanggungjawab
4. Kerja adalah Aktualisasi: Kita Harus Bekerja Keras Penuh Semangat
5. Kerja adalah Ibadah: Kita Harus Bekerja Serius Penuh Pengabdian
6. Kerja adalah Seni: Kita Harus Bekerja Kreatif Penuh Sukacita
7. Kerja adalah Kehormatan: Kita Harus Bekerja Unggul Penuh Ketekunan
8. Kerja adalah Pelayanan: Kita Harus Bekerja Sempurna Penuh Kerendahan Hati

Sebagai grup yang telah berkecimpung dalam dunia pengembangan SDM dan bisnis Jansen Sinamo WorkEthos Training Center mempunyai misi yang kalau diringkas dalam satu kalimat adalah "Memperindah dunia kerja dengan etos kerja profesional" Sementara visi yang diembannya adalah "Menjadi narasumber paling kredibel di bidang etos kerja profesional". *****

Agama dan Etos

Dari: http://www.institutmahardika.com/biodata/jhs-ti06.php

Jansen Sinamo menilai bahwa bangsa Indonesia yang merupakan bangsa beragama sebenarnya memiliki potensi etos yang baik. Agama memberi orientasi dan makna hidup. Agama memberikan nilai-nilai pegangan dan tuntunan dalam hidup sehingga menjadi standar-standar perilaku, tidak hanyut dalam keputusasaan, dan kejahatan. Sejarah peradaban telah menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menjadi pegangan masyarakat sekarang seperti toleransi, saling menghargai, saling mencintai dan tenggang rasa di tiap kebudayaan, di tiap negara, di tiap benua, di tiap masyarakat adalah nilai-nilai yang sebenarnya terbentuk oleh karena pengaruh agama secara dominan.

Lalu mengapa bangsa Indonesia malah terjebak menjadi bangsa yang gemar korupsi, pelanggaran HAM, dan sebagainya? Menjawab pertanyaan ini, Jansen berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh adanya pemisahan antara kehidupan sosial dan kehidupan agama.

Beragama dianggap urusan pribadi dengan Tuhan. Bagi orang Kristen misalnya, urusan dengan Tuhan dianggap hanya pada hari Minggu sedangkan hari Senin sampai Sabtu seakan-akan boleh melakukan hal-hal yang tidak baik. Pemisahan antara yang sakral dengan sekular terjadi begitu saja tanpa disadari. Misalkan saja, ada polisi yang menilang dan meminta ’uang damai’ padahal besok dia harus beribadah. Sesudah ibadah, dia kembali lagi melakukan ‘pekerjaannya’. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kesalehan pribadi tidak diteruskan menjadi kesalehan sosial, kesalehan kerja. Menurut Jansen, etos kerja adalah juga merupakan kesalehan kerja. Seharusnya, ibadah yang dilakukan akan menguatkannya di dunia kerja.

Dengan adanya konsistensi dan sinkronisasi antara kehidupan sosial dan agama, keberhasilan di tingkat pribadi, organisasi bahkan tingkat berbangsa dan bernegara bisa diraih dengan gemilang. Indonesia tidak akan dipandang lagi sebagai bangsa munafik, tetapi akan dikenal sebagai bangsa yang maju, tempat bagi negara-negara yang membutuhkan minta bantuan, tempat diadakannya event-event internasional. Indonesia menjadi berkah bagi bangsa-bangsa lain. Tetapi tanpa perubahan etos niscaya cita-cita itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. *****