Jumlah pelongok sejak 25 April 2011

Minggu, 08 Mei 2011

Aku Bekerja, Maka Aku Ada

Oleh: Andrias Harefa

Sumber: Majalah Manajemen
http://strategika.wordpress.com/2007/07/05/aku-bekerja-maka-aku-ada/


Kajian mengenai “mengapa orang bekerja” atau “motivasi kerja”, telah banyak dilakukan oleh para pakar berbagai disiplin ilmu, terutama psikologi. Frederick Taylor bicara soal carrot and stick (wortel dan cambuk). David McClelland dan John W. Atkinson bicara soal need for achievement-power-affiliation. Douglas McGregor bicara soal teori X dan Y. Abraham Maslow bicara soal hierarchi of needs. Frederick Herzberg bicara soal hygiene-motivational factors. Dan sebagainya. Argumen-argumen mereka menarik karena didasarkan pada penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis-ilmiah. Satu-satunya soal yang mengganjal adalah fakta bahwa studi-studi tersebut umumnya dilakukan sebelum “dunia yang dilipat” (internet) hadir seperti kita lihat hari-hari ini. Jadi manusia-manusia yang diteliti itu bukan Cohort 80-an yang nampak “aneh” bagi sebagian kita yang lahir lebih dulu. Apakah akan ada bedanya motivasi kerja generasi baru ini dengan yang sebelumnya?

Pada sisi lain ada keraguan besar tentang seberapa jauh psikologi dapat menjelaskan motivasi terdalam yang mendorong manusia bekerja. Sebab di luar bingkai psikologi masih ada bingkai ekonomi yang terkesan dominan. Lalu ada juga persepsi sosiologi dan teologi yang makin sulit diabaikan bila kita menyimak karya-karya terbaik manusia sepanjang sejarah dunia. Mengapa sebagian orang begitu mementingkan mutu atau kualitas, sementara yang lainnya tak peduli mutu? Mengapa ada yang toleran terhadap berbagai cacat (defect), sementara yang lain terkesan perfectionist? Mengapa ada yang begitu mempersoalkan imbalan yang diperoleh dari karyanya, sementara yang lain mengatakan bahwa karyanya tak ternilai, tak terbeli, dan hanya bisa dihadiahkan gratis kepada orang yang ‘mengerti’?

Saya kira semua itu menunjukkan bahwa dalam soal kerja kita harus mengaitkannya paling sedikit dengan empat nilai, yakni: nilai ekonomis, nilai personal, nilai sosial, dan nilai moral-spiritual. Orang bekerja untuk mencari nafkah hidupnya sehari-hari. Disini ia mengedepankan nilai ekonomis dari kerja. Ia bekerja untuk dapat bertahan hidup. Itu baik. Namun bila hanya untuk itu, maka apa bedanya dengan, maaf, binatang? Bila bekerja hanya untuk survive, bukankah ayam pun demikian?

Nilai personal dari kerja adalah karena dengan aktivitas yang direncanakan itu manusia dimungkinkan untuk mengalami pertumbuhannya ke arah kedewasaan dan kemandirian (otonom). Dengan bekerja kita mengembangkan talenta dan bakat-bakat yang dititipkan Tuhan kepada kita untuk dikembangkan. Dengan bekerja kita meningkatkan keterampilan kita dan menambah pengetahuan kita untuk berpikir dan bertindak rasional. Bagaimanapun kita adalah rational being, mahluk yang “berpikir’ agar “meng-ada”, Cogito ergo sum (Latin) atau Je pense, donc je suis (Perancis). Dengan menyadari hal ini maka setidaknya kita melihat diri kita sebagai physical being yang bekerja untuk hidup, dan sekaligus rational being yang mampu berpikir untuk tidak asal kerja, tidak kerja asal-asalan, tapi bekerja secara rasional. Mereka yang rasional inilah yang dewasa dan mandiri, tidak harus dipaksa-paksa dan diancam untuk mengerjakan seuatu yang merupakjan tanggung jawab pribadinya, entah sebagai karyawan, wirausaha, atau lainnya.

Nilai sosial dari kerja menambahkan kepada pengertian di atas bahwa dengan bekerja kita memberikan makna atas kehadiran kita dalam suatu komunitas tertentu. Disini kita mengembangkan jatidiri kemanusiaan kita sebagai social-emotional being. Kita adalah mahluk sosial yang hanya mungkin mengembangkan potensi kemanusiaan kita jika kita melihat diri kita dalam suatu hubungan saling bergantung dengan orang lain. Bukan berarti kita bergantung sepenuhnya (dependence), sebab dengan begitu kita tak ubah seperti parasit dan kanker dalam kehidupan masyarakat. Kita saling bergantung (inter-dependence), dimana ada hubungan saling memberi dan saling menerima. Tak boleh hanya menerima saja, tak juiga hanya memberi saja. Harus timbal balik. Itu berlaku bagi orang yang sudah sama-sama dewasa dan mandiri. Bagi mereka yang belum dewasa, belum mandiri, maka menjadi tanggung jawab sosial kita untuk membantunya, untuk lebih banyak memberi, sampai mereka menjadi dewasa dan mandiri.
Nilai moral-spiritual dari kerja adalah bahwa dengan bekerja kita dimungkinkan untuk mengakui Tuhan sebagai Tuhan, memanusiawikan manusia (diri sendiri dan sesama), dan alam diberikan Tuhan untuk dikelola guna kemaslahatan manusia yang sebesar-besarnya. Inilah dimensi “teologis” dari kerja, dimana kerja dipahami sebagai bagian dari ibadah, sebab kita ini juga moral-spiritual being.

Dalam ajaran Islam ada tertulis, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah…” (Q.S., al-Jumu’ah/62:10). Hal ini mempermudah pemahaman atas pernyataan Seyyed Hossein Nasr, profesor studi Islam asal Iran yang mengajar di Universitas Temple, Philadelphia, Amerika Serikat, bahwa, “Kerja merupakan salah satu bentuk jihad yang tak terpisahkan dari signifikansi religius-spiritual”. Juga ada ayat yang berbunyi, “Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (nabi) Musa? Dan (nabi) Ibrahim yang setia? Yaitu, bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu, melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmulah tujuan penghabisan (Q.S., al-Najm/52:36-42). Ayat inilah yang menurut Nurcholish Madjid menunjukan bahwa dalam ajaran Islam kerja adalah bentuk eksistensi manusia, dalam arti harga manusia — apa yang dimilikinya– tidak lain adalah amal perbuatan atau kerjanya itu.

Dalam ajaran Kristiani makna kerja sebagai bentuk eksistensi manusia juga ditegaskan dengan mengingat bahwa manusia diciptakan Homo Imago Dei, sebagai peta dan teladan Allah, untuk mencitrakan Allah (Kejadian 1:26-27). Dan Allah yang seharusnya dicitrakan oleh manusia itu adalah Allah yang bekerja (Yohanes 5:17, Roma 8:28). Dengan bekerja manusia menyatakan iman dan kasihnya kepada Tuhan dan kepada sesama manusia secara bersamaan (Matius 22:37-40). Jadi, dalam perspektif Kristiani, kerja itu melekat pada eksistensi manusia. Tanpa kerja manusia tidak pantas untuk makan, tidak pantas dihormati, bahkan tidak pantas untuk hidup (2 Tesalonika 3:10; 1 Tesalonika 5:12; Filipi 1:22).

Pemahaman teologis mengenai makna kerja itu setidaknya mengandung dua konsekuensi, yakni: pertama, nilai moral-spiritual dari kerja seharusnya menjadi fondasi dimana tiga nilai lainnya ditegakkan (sosial, personal, ekonomis); dan kedua, nilai moral-spiritual atau “spiritualitas kerja” ini menampakkan wujud konkritnya dalam etika dan etos kerja dalam suatu masyarakat. Disini kita diingatkan bahwa kemajuan Singapura dan Taiwan diakui secara terbuka oleh para pemimpin bangsa itu sebagai buah dari etika konfusianisme, yang menempatkan kerja (dan belajar) sebagai cara menjadi “orang terhormat”. Kapitalisme, setidaknya menurut Max Weber, adalah buah dari etika kerja protestan. Sementara etos kerja Bushido (Shintoisme?) tak mungkin dilepaskan dari keberhasilan Jepang membangun negerinya itu pasca Perang Dunia II.
Jadi, bila kita mengharapkan perbaikan dalam bidang etika dan etos kerja dalam masyarakat kita, maka kita seharusnya kembali kepada ajaran-ajaran luhur agama-agama yang hadir di Indonesia. Artinya kita harus membangkitkan kembali (revitalisasi) nilai-nilai moral-spiritual yang untuk masa sebelumnya banyak “disimpan”, bahkan “dilecehkan” oleh kita semua yang terjebak menyembah “roh materalisme” Orde Baru.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar