Oleh: SURYONO, AGUS
Sumber http://www.adln.lib.unair.ac.id/print.php?id=gdlhub-gdl-s3-2007-suryonoagu-4019&PHPSESSID=04b240b8e11c4efa33cfe7d5fc244c0d
Dalam penelitian ini, etos kerja dipahami sebagai nilai-nilai ideal tentang kerja. Nilai adalah sesuatu yang dianggap bermanfaat, dan menguntungkan. Dengan demikian, etos kerja birokrasi merupakan perilaku kerja positif yang dianggap sebagai nilai-nilai ideal tentang kerja yang timbul dari keyakinan baik dan benar birokrat dalam birokrasi.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perdebatan pada tatanan teoritis maupun empiris mengenai etos kerja. Dari serangkaian perdebatan tersebut, terdapat problematika yang relevan untuk dikaji lebih lanjut, yaitu berkenaan dengan pertanyaan: Bagaimanakah dengan etos kerja di lingkungan birokrasi? Atau lebih khusus lagi, penelitian ini mengajukan pertanyaan: Apa karakteristik birokrasi dan karakteristik etos kerja birokrasi di Pemerintah Kota Malang? Karena selama ini, peta penelitian tentang etos kerja jarang sekali menyentuh obyek penelitian lain kecuali pada lingkungan masyarakat pemeluk agama tertentu dan wiraswasta.
Tujuan penelitian ini, adalah ingin mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai nilai-nilai apa saja yang mendasari etos kerja birokrasi? Bagaimanakah pandangan hidup birokrat dalam lingkungan birokrasi?, dan Bagaimanakah pemahaman birokrat tentang kerja, sikap kerja, keberhasilan kerja, budaya kerja, disiplin kerja, dan pelayanan publik?. Dari gambaran pemahaman ini diharapkan mampu memberikan ilustrasi dan diskripsi mengenai konstruksi etos kerja birokrasi Pemerintah Kota Malang secara keseluruhan.
Timbulnya fenomena kinerja birokrasi yang dianggap rendah dan lamban, penelitian ini berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan karena tidak dimilikinya komitmen dan konsistensi birokrat terhadap nilai-nilai etos kerja yang tumbuh dan berkembang di birokrasi. Oleh karena itu, penelitian ini menggarisbawahi arti pentingnya etos kerja sebagai alat untuk membina, mengembangkan, dan menegakkan sikap mental pegawai di lingkungan birokrasi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dalam perspektif metode sosiologi Verstehen Weber (1969) yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan menguraikan dan menerangkan sebab-sebab dari suatu tindakan tersebut. Disamping itu, sebagai instrumen penjelas realita dan alat analisis, penelitian ini juga memanfaatkan konsep Weber (1946) tentang birokrasi rasional, tesis Weber (1958) tentang etika protestan dan spirit kapitalisme, teori McClelland (1965) tentang kebutuhan berprestasi (Need for Achievement), teori Galtung (1973) tentang sumber-sumber kekuasaan, dan teori strukturasi Giddens (1991) tentang dualitas struktur.
Ada tujuh alasan, mengapa penelitian ini menggunakan pendekatan dan teori-teori tersebut, yaitu: Pertama, bahwa tipe ideal birokrasi rasional Weber menganjurkan adanya keseimbangan antara pencapaian tujuan dan kepentingan birokrasi sebagai organisasi dan birokrat sebagai individu. Kedua, seorang birokrat dalam melaksanakan pekerjaannya, selalu terikat oleh dan dengan nilai-nilai sosial budaya dan struktur. Ketiga, nilai-nilai sosial budaya dan struktur tersebut dalam birokrasi merupakan landasan mekanisme kerja normatif yang secara legal rasional menunjukkan adanya hubungan antar satuan kerja dan tugas, serta wewenang dan tanggung jawab. Keempat, dalam kehidupan birokrat sebagai pelaku utama di birokrasi seringkali dijumpai individu¬individu yang ingin berprestasi mengembangkan kariemya, tuntutan dan harapannya sehingga selalu tidak merasa puas. Kelima, posisi birokrat dalam birokrasi merupakan satu kesatuan dari sistem sehingga terikat nilai dan tidak otonom. Keenam, peran birokrat dalam struktur dan fungsi memperlihatkan hubungan dualitas, selain mereproduksi tetapi juga memproduksi suatu nilai-nilai tertentu, sehingga tidak menimbulkan perasaan bahwa pihaknya yang terpenting dan paling penting. Ketujuh,
Giddens menjelaskan hubungan antara struktur dan individu bukan merupakan sesuatu yang dikotomis atau dualisme karakter, melainkan sebagai dua hal yang saling berhubungan secara dialektis dan kontinum sehingga menghasilkan dualitas struktur yakni tindakan individu dan struktur yang saling membutuhkan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa nilai-nilai budaya lokal sebagai pandangan hidup birokrat menjadi preferensi umum yang mendasari etos kerja birokrasi yang sarat dengan kebutuhan akan nilai¬nilai kekuasaan (Need for Power), tetapi lemah dalam kebutuhan berprestasi (Need for Achievement) sebagaimana yang diformulasikan oleh McClelland (1965). Sumber nilai-nilai kekuasaan itu berupa kekuasaan ideologis yang menciptakan kepatuhan, kekuasaan remuneratif yang menciptakan ketergantungan, dan kekuasaan punitif yang menciptakan rasa ketakutan, sebagaimana yang diformulasikan Galtung (1973). Sumber nilai-nilai kekuasaan yang demikian, mempengaruhi pemahaman birokrat tentang makna kerja dan makna pelayanan publik yang diartikan sebagai pelaksanaan tugas dari atasan, pelaksanaan peraturan yang beriaku, dan sebagai sarana untuk kepentingan pribadi (balk secara ekonomi maupun prestise sosial). Sebagai konsekuensi dari pemahaman ini, maka dalam birokrasi muncul interaksi pelayanan publik dengan tipologi kerjasama, kompromi, konflik, kecurangan, intimidasi, dan kompensasi.
Dengan demikian, sebagai implikasi teroitisnya hasil penelitian ini selain melengkapi dan memperkaya perbendaharaan penelitian terdahulu tentang etos kerja yang selama ini di dominasi oleh pendekatan budaya dan praktek-praktek sosial dalam lingkungan masyarakat agamis dan wiraswasta, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa dalam lingkungan birokrasi, aturan-aturan formal, pendekatan struktural, pendekatan prosedural, dan kesadaran birokrat untuk mengendalikan sikap mental dan tingkah laku kerjanya, ternyata masih sangat diperlukan.
Penelitian ini juga menemukan beberapa kandungan berharga dari nilai-nilai etos kerja yang tumbuh dan berkembang di birokrasi, misalnya ungkapan: Malangkuceswara (Tuhan menghancurkan kebathilan dan menegakkan kebaikan), Ing ngarso sung tuladha (pemimpin harus berada di depan dan mampu memberi contoh), Ing madya mangun karsa (pemimpin harus berada ditengah dan mampu menciptakan inisiatif), Tut wuri handayani (pemimpin harus berada dibelakang dan mampu memotivasi orang yang dipimpin), Wikanwasitha (pemimpin harus terampil dan menguasai iimu kepemimpinannya), Wicak sanengnaya (pemimpin harus mampu mengembangkan kewibawaan dan kearifan), Mengku ning uga ngayomi (pemimpin harus menguasai seluk beluk tugasnya untuk melindungi rakyat), Waskitaprana (pemimpin harus memiliki pandangan jauh kedepan), Anggawe ngguyune wong cilik (membuat tertawanya rakyat kecil), Mahayu hayuning bawana (membuat indahnya dunia), Jer basuki mawa bea (untuk mencapai sukses harus mau berkorban), Rawe¬rawe rantas malang-malang putung (kerja tanpa pantang menyerah), Sapa nandur bakal ngunduh (siapa menanam dia akan memetik buahnya), Kerja direwangi adus keringet (bekerja disertai mandi keringat), jika mau kita bisa, waktu adalah kerja, ada hari ada kerja, ada kerja ada upah, jika ada yang mudah mengapa di persulit, pekerjaan berat akan terasa ringan bila dikerjakan bersama-sama, bekerjalah yang enak tapi jangan bekerja seenaknya, kepuasan anda merupakan tujuan utama bagi kami, jadilah pemenang bukan yang kalah, tiada hari tanpa prestasi, hari ini lebih baik daripada hari kemarin, hari esok lebih baik daripada hari ini, dan sebagainya. ungkapan-ungkapan etos kerja semacam ini, sebagaimana disampaikan Weber (1958) merupakan karaktenstik psikologis yang di perlukan dalam menciptakan budaya kerja keras sebagai pencerminan citra diri seseorang atau masyarakat yang diwamai oleh apa yang di anggap ideal dalam pola berpikir suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu.
Akhirnya, penelitian ini menggarisbawahi arti pentingnya etos kerja dan kepemimpinan legal rasional birokrasi dalam upaya membina, menegakkan dan meningkatkan disiplin kerja pegawai, memperhatikan sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment system) melalui mekanisme insentif maupun mekanisme rekrutmen kepemimpinan birokrasi, mengembangkan budaya malu dan menciptakan keteladanan kerja di Iingkungan pegawai, dan perlunya perundang-undangan yang mampu mengatur tentang standar pelayanan publik.
******
thank's informasinya..
BalasHapuswww.kiostiket.com